Page 346 - Karen Armstong - Sejarah Tuhan
P. 346
http://pustaka-indo.blogspot.com
Oleh karena itu, ia berasal dari realitas yang sama dengan
alam ruh. Namun, dengan maksud memperjelas bahwa yang
dimaksudnya dengan “akal” tidak semata-mata merujuk
kepada daya analitis dan otak kita, Al-Ghazali mengingatkan
pembaca bahwa penjelasannya tidak dapat dipahami secara
harfiah: kita hanya bisa mendiskusikan persoalan ini dalam
bahasa figuratif yang menyampaikan imajinasi kreatif.
Namun demikian, ada orang yang memiliki daya yang lebih
tinggi daripada akal, yang oleh Al-Ghazali disebut “ruh
kenabian”. Orang-orang yang tidak memiliki fakultas ini tidak
boleh begitu saja menolak keberadaannya hanya karena
belum pernah mengalaminya. Itu sama absurdnya dengan
orang tuli yang mengklaim bahwa musik adalah ilusi, hanya
karena dia tidak mampu mengapresiasinya. Kita dapat
mengetahui sesuatu mengenai Tuhan dengan menggunakan
daya nalar dan imajinasi kita, tetapi jenis pengetahuan
tertinggi ini hanya dapat dicapai oleh orang-orang, seperti
para nabi atau kaum mistik yang memiliki fakultas istimewa
yang mampu mencerap Tuhan. Ini kedengarannya bernada
elitis, tetapi kaum mistik dalam tradisi lain juga mengklaim
bahwa kualitas-kualitas intuitif dan reseptif yang dituntut oleh
disiplin, seperti meditasi Zen atau Buddhis merupakan bakat
istimewa, yang bisa dibandingkan dengan bakat menulis puisi.
Tidak setiap orang memiliki bakat mistik ini. Al-Ghazali
menggambarkan pengetahuan mistik ini sebagai sebuah
kesadaran bahwa hanya Sang Penciptalah yang ada atau
memiliki wujud. Hasilnya adalah peniadaan diri dan
peleburan di dalam Tuhan. Kaum mistik mampu melampaui
alam metafora, yang mesti memuaskan makhluk-makhluk
dengan karunia yang lebih sedikit; mereka,
mampu melihat bahwa tak ada wujud di dunia
kecuali Tuhan dan bahwa segala sesuatu akan
binasa kecuali Wajah Tuhan (QS Al-Qashash
~339~ (pustaka-indo)