Page 348 - Karen Armstong - Sejarah Tuhan
P. 348
http://pustaka-indo.blogspot.com
Muslim membuat asumsi ceroboh bahwa Tuhan adalah sama
seperti wujud lain yang eksistensinya dapat didemonstrasikan
secara ilmiah atau filosofis. Sejak saat itu, filsafat Muslim
menjadi tak terpisahkan dari spiritualitas dan pembahasan
yang lebih mistikal tentang Tuhan.
Al-Ghazali juga berpengaruh terhadap Yudaisme. Filosof
Spanyol Joseph ibn Saddiq (w. 1143) menggunakan dalil Ibn
Sina tentang eksistensi Tuhan, tetapi secara hati-hati
menyimpulkan bahwa Tuhan bukan sekadar wujud yang lain
—satu dari sekian banyak hal yang “ada” dalam pengertian
lazim kita atas kata tersebut. Kalau kita mengklaim
memahami Tuhan, maka berarti Tuhan itu terbatas dan tidak
sempurna. Pernyataan paling tepat yang bisa kita buat
tentang Tuhan adalah bahwa dia tidak bisa dipahami, sangat
jauh dari jangkauan daya intelektual alamiah kita. Kita bisa
saja berbicara tentang aktivitas Tuhan di dunia dalam terma-
terma positif, namun tidak mengenai esensi Tuhan (Al-Dzat),
yang akan senantiasa luput dari kita. Ahli kedokteran dari
Toledo, Judah Halevi (1085-1141), menjadi pengikut setia Al-
Ghazali. Tuhan tidak bisa dibuktikan secara rasional; ini tidak
berarti bahwa keimanan kepada Tuhan menjadi tidak rasional
melainkan bahwa demonstrasi logis tentang eksistensi Tuhan
tidak memiliki nilai keagamaan. Bukti logis itu menyampaikan
informasi yang sangat sedikit: tak ada cara untuk
memastikan tanpa ragu bagaimana Tuhan impersonal yang
begitu jauh itu dapat menciptakan alam material atau apakah
dia berhubungan dengan alam melalui cara tertentu. Ketika
para filosof mengklaim bahwa mereka menjadi satu dengan
Akal ilahi yang mengatur kosmos melalui penggunaan akal,
mereka telah menipu diri mereka sendiri. Satu-satunya
kelompok manusia yang mempunyai pengetahuan langsung
tentang Tuhan adalah para nabi, yang tak memiliki kaitan
apa-apa dengan falsafah.
~341~ (pustaka-indo)