Page 360 - Karen Armstong - Sejarah Tuhan
P. 360

http://pustaka-indo.blogspot.com
             dengan  menggunakan  paradoks  yang  mengingatkan  kita
             kembali  pada  keterbatasan  nalar  kemanusiaan  kita.  Baik
             pendekatan  positif  maupun  negatif  kepada  Tuhan  adalah
             sama  absahnya.  Tuhan  tidak  bisa  dipahami:  bahkan  para
             malaikat  pun  tidak  mengetahui  atau  memahami  hakikat
             esensial  Tuhan.  Akan  tetapi,  pernyataan  positif,  seperti
             “Tuhan  itu  bijaksana”,  bisa  dibenarkan  karena  bila  kita
             merujukkan  pernyataan  itu  kepada  Tuhan,  maka  kita
             menyadari  bahwa  kita  tidak  menggunakan  kata  “bijaksana”
             dalam  pengertian  lazimnya.  Selanjutnya  kita  mengingatkan
             diri  kita  tentang  hal  ini  melalui  pernyataan  negatif,  dengan
             mengatakan  “Tuhan  tidak  bijaksana”.  Paradoks  ini
             mendorong  kita  bergerak  ke  jalan  ketiga  yang  ditempuh
             Denys  ketika  berbicara  tentang  Tuhan,  ketika  kita  menarik
             kesimpulan:  “Tuhan lebih  dari  bijaksana”.  Inilah  apa  yang
             oleh  orang  Yunani  disebut  sebagai  pernyataan  apofatik
             karena  kita  tidak  memahami  apa  makna  “lebih  dari
             bijaksana”  itu.  lagi-lagi,  ini  bukan  sekadar  permainan  kata,
             melainkan sebuah disiplin: penyejajaran dua pernyataan yang
             saling  bertentangan  itu  akan  membantu  kita  menanamkan
             rasa misteri yang dikandung dalam kata “Tuhan”, karena dia
             tidak pernah bisa dibatasi oleh konsepsi manusia biasa.
             Ketika  menerapkan  metode  ini  pada  pernyataan  “Tuhan  itu
             ada”,  Erigena  tiba,  sebagaimana  mestinya,  pada  sintesis:
             “Tuhan  lebih  dari  ada”.  Adanya  Tuhan  tidak  sama  seperti
             adanya makhluk yang diciptakannya dan dia bukanlah wujud
             yang  setara  dengan  semua  makhluk  itu,  seperti  yang
             dikemukakan oleh Denys. Ini lagi-lagi merupakan pernyataan
             yang tidak bisa dipahami, karena, Erigena berkomentar, “apa
             yang  lebih  dari  ‘ada’  itu  tidaklah  dijelaskan.  Karena
             dikatakannya  bahwa  Tuhan  bukanlah  salah  satu  dari  yang
             ada, melainkan lebih dari segala yang ada, tapi apakah yang
                                              23
             ‘ada’ itu, tidak pernah didefinisikan.”   Pada  kenyataannya,


                            ~353~ (pustaka-indo)
   355   356   357   358   359   360   361   362   363   364   365