Page 378 - Karen Armstong - Sejarah Tuhan
P. 378
http://pustaka-indo.blogspot.com
semangat mereka kepada Tuhan; orang Buddha dan Hindu
harus memasukkan kecintaan pribadi pada avatar realitas
tertinggi. Kristen telah menjadikan sesosok manusia sebagai
pusat kehidupan religius melalui cara yang unik di sepanjang
sejarah agama: personalisme yang melekat dalam Yudaisme
telah dibawa Kristen ke sebuah titik ekstrem. Mungkin tanpa
semacam identifikasi dan empati hingga tingkat seperti ini,
agama tak akan bisa mengakar.
Namun, Tuhan yang bersifat personal dapat menimbulkan
masalah besar. Dia bisa menjadi sekadar berhala yang
terkurung dalam citra kita sendiri, proyeksi dari kebutuhan,
ketakutan, dan keinginan kita yang terbatas. Kita bisa
mengasumsikan bahwa dia menyukai apa yang kita sukai dan
membenci apa yang kita benci, memperkuat prasangka kita
daripada mendorong kita untuk melepaskannya. Ketika dia
sepertinya gagal mencegah bencana atau malah seolah
menghendaki terjadinya suatu tragedi, dia bisa tampak tega
dan kejam. Keyakinan lugu bahwa musibah merupakan
kehendak Tuhan dapat membuat kita menerima hal-hal yang
secara mendasar sebenarnya tidak bisa diterima. Implikasi
nyata bahwa, jika dipandang secara personal berarti Tuhan
memiliki gender, juga bersifat membatasi: artinya seksualitas
setengah ras manusia menjadi sakral atas pengurbanan
setengah ras lain yang wanita dan dapat membawa pada
ketidakseimbangan neurotik dan tak layak dalam moralitas
seksual manusia. Oleh karena itu, Tuhan yang personal bisa
menjadi berbahaya. Alih-alih membawa kita keluar dari
berbagai keterbatasan kita, “dia” malah mendorong kita
untuk tetap puas dengan keadaan itu: “dia” dapat membuat
kita sama keras, tega, berpuas-diri, dan memihak seperti
dirinya. Alih-alih mengilhami kasih sayang yang menjadi ciri
semua agama yang maju, “dia” malah mendorong kita untuk
menghakimi, mengutuk, dan menyingkirkan. Oleh karena itu,
~371~ (pustaka-indo)