Page 392 - Karen Armstong - Sejarah Tuhan
P. 392
http://pustaka-indo.blogspot.com
sama bungkam tentang puncak perjalanan mereka,
menekankan betapa perjalanan itu betul-betul transenden
terhadap ruang, waktu, dan pengetahuan biasa. Mereka
“berbicara dan bernapas” demi Tuhan, dan “menyentuhnya
sekilas melalui konsentrasi hati yang menyeluruh”. 11
Kemudian, mereka harus kembali ke percakapan biasa, di
mana sebuah kalimat memiliki awal, pertengahan, dan akhir:
Oleh karena itu, kami berkata: Jika bagi
setiap orang derita tubuh telah mereda, jika
citra tentang bumi, air, dan udara menjadi
mati, jika langit pun tertutup dan semua jiwa
tak lagi bersuara, serta melampaui dirinya
dengan tak lagi berpikir tentang dirinya,
jika semua mimpi dan visi dalam imajinasi
disingkirkan, jika semua bahasa dan segala
yang sementara menjadi diam—karena jika ada
orang yang mampu mendengar maka inilah yang
akan dikatakan oleh mereka semua: “Kami tidak
menciptakan diri kami sendiri, kami
diciptakan oleh dia yang abadi” (Mazmur 79:
3, 5). … Begitulah keadaannya pada saat kami
menjulurkan tangan kami dan dalam kilasan
energi mental meraih hikmat abadi yang
menampung segala sesuatu. 12
Ini bukanlah visi naturalistik tentang Tuhan personal: mereka
bisa dikatakan tak pernah “mendengar suaranya” lewat cara
komunikasi naturalistik yang normal: melalui percakapan
biasa, melalui malaikat, melalui alam atau simbolisme mimpi.
Kelihatannya mereka telah “menyentuh” Realitas yang
berada di luar semua ini. 13
Meskipun jelas terkondisikan oleh budaya, jenis “kenaikan”
ini tampaknya merupakan fakta kehidupan yang tidak bisa
dibantah. Bagaimanapun cara yang kita pilih untuk
menafsirkannya, manusia di seluruh penjuru dunia dan dalam
~385~ (pustaka-indo)