Page 395 - Karen Armstong - Sejarah Tuhan
P. 395
http://pustaka-indo.blogspot.com
Di Timur, pengalaman orang Kristen tentang Tuhan lebih
dicirikan oleh cahaya daripada kegelapan. Orang Yunani
mengembangkan sebuah bentuk mistisisme berbeda, yang
juga ditemukan di seluruh dunia. Mistisisme ini tidak
bergantung pada gambaran dan penampakan, tetapi
bersandar pada pengalaman apofatik atau sunyi sebagaimana
diuraikan oleh Denys Aeropagite. Mereka secara alamiah
mengesampingkan semua konsepsi rasionalistik tentang
Tuhan. Sebagaimana telah dijelaskan oleh Gregory dari
Nyssa dalam Commentary on the Song of Songs, “setiap
konsep yang dicerap akal menjadi rintangan dalam perjalanan
seorang pencari.” Tujuan perenungan ini adalah untuk
melangkah melampaui gagasan dan juga melampaui
gambaran apa pun, sebab semua itu hanya merupakan
gangguan. Baru kemudian dia akan memperoleh “rasa
tentang kehadiran” yang tak dapat didefinisikan dan
sungguh-sungguh berada di atas semua pengalaman manusia
17
tentang hubungan dengan sesamanya. Sikap ini disebut
hesychia, “ketenteraman” atau “keheningan batin”. Karena
kata-kata, ide, dan bayangan hanya akan mengikat kita pada
alam duniawi, di sini dan pada saat ini, pikiran harus secara
sadar ditenangkan melalui teknik-teknik konsentrasi sehingga
ia bisa menumbuhkan keheningan penantian. Hanya setelah
itulah pikiran diharapkan mampu memahami suatu Realitas
yang melampaui segala sesuatu yang bisa dikonsepsikannya.
Bagaimana mungkin kita mengetahui Tuhan yang tak bisa
dipahami? Orang Yunani menyukai paradoks semacam ini,
dan kaum hesychast menggunakan pembedaan kuno antara
esensi Tuhan (ousia) dengan “energi” (energeiai) atau
aktivitasnya di alam, yang membuat kita mampu mengalami
sesuatu tentang yang ilahi. Karena kita tidak pernah
mengetahui Tuhan dalam dirinya sendiri, maka adalah
“energi” bukan “esensi” yang kita alami ketika berdoa.
~388~ (pustaka-indo)