Page 397 - Karen Armstong - Sejarah Tuhan
P. 397
http://pustaka-indo.blogspot.com
kepada para rahibnya, “janganlah kau bentuk di dalam dirimu
citra apa pun tentang tuhan dan jangan biarkan pikiranmu
dibentuk oleh kesan apa pun.” Sebaliknya, mereka harus
“mendekati yang Imaterial dengan sikap imaterial pula”. 19
Evagrius tengah mengajukan sebentuk Yoga Kristen. Ini
bukanlah sebuah proses refleksi—bukankah “doa berarti
20
penghapusan pikiran” —melainkan lebih merupakan
pemahaman intuitif tentang Tuhan. Hasilnya berupa rasa
kesatuan dengan segala sesuatu, kebebasan dari gangguan
dan kemajemukan, dan hilangnya ego—sebuah pengalaman
yang sangat mirip dengan apa yang diperoleh oleh para
perenung dalam agama non-teistik, seperti Buddhisme.
Dengan secara sistematik menjauhkan pikiran mereka dari
“gairah”— seperti bangga, tamak, sedih, atau marah yang
mengikat mereka kepada ego—kaum hesychast
mengangkat diri mereka dan menjadi terilahikan, seperti
Yesus di gunung Tabor yang diubah oleh “energi-energi”
ilahi.
Diodochus, uskup Photice abad kelima, mengajarkan bahwa
deifikasi ini tak akan ditunda hingga ke alam baka nanti,
tetapi dapat dialami secara sadar di dunia ini. Dia
mengajarkan suatu metode konsentrasi yang melibatkan
pengaturan napas: ketika mereka menarik napas, kaum
hesychast mesti mengucapkan doa: “Yesus Kristus, Putra
Allah”; ketika mengeluarkan napas mereka mengucapkan:
“Kasihilah kami.” Belakangan kaum hesychast
memperhalus latihan ini: sang perenung harus duduk dengan
kepala dan bahu merunduk, menatap dada atau pusar
mereka. Mereka harus bernapas lebih perlahan lagi untuk
mengarahkan perhatian mereka ke dalam batin, ke fokus
psikologis tertentu, seperti hati. Ini merupakan latihan ketat
yang mesti digunakan dengan hati-hati: latihan ini hanya
dapat dilakukan dengan aman di bawah bimbingan seorang
~390~ (pustaka-indo)