Page 406 - Karen Armstong - Sejarah Tuhan
P. 406

http://pustaka-indo.blogspot.com
             demi kesatuan dengan sang Kekasih. Sungguhpun demikian,
             latihan-latihan introspektif yang diadopsinya untuk mencapai
             ini  membawanya  melampaui  konsepsi  ketuhanan  yang
             tepersonalisasikan ini. Ketika dia mendekati inti identitasnya,
             dia merasa tak ada sesuatu pun yang menabiri antara Tuhan
             dan dirinya; segala sesuatu yang pernah dipahaminya sebagai
             “diri” seolah runtuh:


                   Aku  memandang  [Allah]  dengan  mata  kebenaran
                   dan  berkata  kepada-Nya:  “Siapa  ini?”  Dia
                   berkata,  “Ini  bukan  Aku,  bukan  pula  yang
                   selain  Aku.  Tak  ada  Tuhan  selain  Aku.”Lalu
                   dia  mengubah  jati  diriku  menjadi  Jati  Diri-
                   Nya  …  kemudian  aku  bersama  Dia  dengan  lidah
                   Wajah-Nya,  berkata:  “Berapa  jauhnya  aku
                   dengan  Engkau?”  Dia  berkata,  “Aku  di  dalam
                   diri-Mu; tak ada tuhan selain Engkau.”  32

             Lagi-lagi,  tak  ada  ilah  yang  berada  “di  luar  sana”,  terasing
             dari manusia: Tuhan secara misterius ternyata identik dengan
             bagian jiwa paling dalam. Penghancuran sistematik terhadap
             ego  akan  membawa  pada  rasa  terserap  ke  dalam  realitas
             yang lebih agung dan tak terlukiskan. Keadaan peniadaan diri
             (fana’)  ini  menjadi  sesuatu  yang  sentral  bagi  cita-cita  sufi.
             Bistami  telah  dengan  sepenuhnya  menafsirkan  ulang
             syahadat  dalam  cara  yang  mungkin  bisa  dianggap  sebagai
             penghujatan, seandainya itu tidak diakui oleh banyak Muslim
             sebagai   pengalaman   autentik   islâm   seperti   yang
             diperintahkan Al-Quran.


             Kaum  mistik  lain,  sufi-sufi  yang  “tidak  mabuk”,  lebih
             menyukai spiritualitas yang tidak terlalu menyolok. Al-Junaid
             dari  Bagdad  (w.  910),  yang  memetakan  landasan  bagi
             seluruh  mistisisme  Islam  masa  depan,  berkeyakinan  bahwa
             ekstremisme  Bistami  bisa  menimbulkan  bahaya.  Dia
             mengajarkan bahwa fana’ (peniadaan diri) harus digantikan



                            ~399~ (pustaka-indo)
   401   402   403   404   405   406   407   408   409   410   411