Page 419 - Karen Armstong - Sejarah Tuhan
P. 419
http://pustaka-indo.blogspot.com
sangat besar, tetapi pemikirannya tidak banyak berpengaruh
di Barat, yang mengira bahwa filsafat Islam telah berakhir
dengan wafatnya Ibn Rusyd. Kekristenan Barat kemudian
merangkul konsepsi ketuhanan Ibn Rusyd yang bercorak
Aristotelian, sedangkan kebanyakan aliran dalam Islam,
secara relatif hingga masa sekarang ini, lebih memilih Tuhan
kaum mistik yang bersifat imajinatif.
Pada tahun 1201, ketika sedang melaksanakan thawaf di
Ka‘bah, Ibn Al-Arabi mengalami sebuah visi yang
meninggalkan pengaruh kuat dan lama terhadap dirinya: dia
melihat seorang perempuan muda, yang bernama Nizam,
dikelilingi oleh cahaya surgawi dan dia sadar bahwa
perempuan itu adalah titisan Sophia, hikmat ilahi. Epifani ini
membuat dirinya sadar bahwa adalah mustahil bagi kita
untuk mencintai Tuhan jika kita hanya bersandar pada
argumen-argumen filosofis yang rasional. Falsafah
menekankan transendensi mutlak Tuhan dan mengingatkan
kita bahwa tak ada sesuatu pun yang bisa menyamainya.
Bagaimana kita bisa mencintai sebuah Wujud yang begitu
asing? Namun, kita bisa mencintai Tuhan yang hadir di
tengah-tengah makhluknya: “Jika engkau mencintai suatu
wujud karena keindahannya, engkau tak lain kecuali
mencintai Allah, karena dia adalah satu-satunya Wujud yang
Indah,” demikian dijelaskannya dalam Futuhat Al-
Makkiyah. “Dengan demikian dalam semua aspeknya, objek
40
cinta hanyalah Tuhan.” Sesungguhnya Kalimat Syahadat
mengingatkan kita bahwa tidak ada tuhan dan tidak ada
realitas absolut selain Allah. Akibatnya, tidak ada keindahan
yang selain Dia. Kita tidak bisa melihat Tuhan itu sendiri,
namun kita bisa melihatnya ketika dia memilih untuk
mewahyukan diri melalui makhluk-makhluk semacam Nizam,
yang mengilhami rasa cinta di hati kita. Seorang mistikus
bahkan berkewajiban untuk menciptakan epifani buat dirinya
~412~ (pustaka-indo)