Page 467 - Karen Armstong - Sejarah Tuhan
P. 467
http://pustaka-indo.blogspot.com
Akbar dan banyak di antara mereka memandang
kepercayaan semacam itu berbahaya bagi keimanan.
Kebijakan toleransi Akbar hanya bisa bertahan ketika orang
Moghul berada dalam posisi kuat. Ketika kekuatan mereka
mulai melemah dan berbagai sekte mulai memberontak
terhadap penguasa Moghul, konflik agama pun meningkat di
kalangan kaum Muslim, Hindu, dan Sikh. Kaisar Aurengzebe
(1618-1707) mungkin menduga bahwa persatuan bisa
dipulihkan dengan memperkuat disiplin di kalangan kaum
Muslim: dia memberlakukan undang-undang untuk
menghentikan berbagai perbuatan yang tidak berfaedah
seperti mengonsumsi minuman keras, menghapus peluang
kerja sama dengan orang Hindu, mengurangi jumlah upacara
keagamaan Hindu, dan menggandakan jumlah pajak atas
para pedagang Hindu. Ungkapan paling spektakuler dari
kebijakan komunalisnya adalah penghancuran menyeluruh
terhadap kuil-kuil Hindu. Kebijakan-kebijakan ini, yang
sangat bertentangan dengan pendekatan toleran Akbar,
ditinggalkan setelah Aurengzebe mangkat, namun kerajaan
Moghul tidak pernah sembuh dari fanatisme destruktif yang
telah disebarkan dan diberlakukannya atas nama Tuhan.
Salah seorang penentang utama Akbar selama masa
hidupnya adalah ulama dan sufi besar Syaikh Ahmad Sirhindi
(1564-1624). Sebagaimana Akbar, dia dianggap sebagai
Manusia Sempurna oleh murid-muridnya. Sirhindi menentang
tradisi mistik Ibn Al-Arabi yang mengajarkan murid-
muridnya untuk memandang Tuhan sebagai satu-satunya
realitas. Seperti yang telah kita saksikan, Mulla Shadra telah
memperkuat persepsi tentang Kesatuan Wujud (wahdatul
wujud) ini. Ajaran ini merupakan pernyataan mistikal
syahadat: tidak ada realitas kecuali Allah. Seperti halnya
kaum mistik dalam agama-agama lain, kaum sufi telah
mengalami kesatuan dan merasa satu dengan seluruh
~460~ (pustaka-indo)