Page 508 - Karen Armstong - Sejarah Tuhan
P. 508
http://pustaka-indo.blogspot.com
(1589), tetapi di dalam karya utamanya, De La Sagesse, dia
menekankan kelemahan akal dan mengakui bahwa manusia
hanya bisa mencapai Tuhan melalui iman. Mersenne
menolak gagasan ini dan memandangnya sama dengan
“ateisme”. Tuduhan kafir juga dialamatkannya kepada tokoh
rasionalis Italia Giordano Bruno (1548-1600), meskipun
Bruno percaya kepada Tuhan dalam konsepsi mazhab Stoa,
yaitu Tuhan sebagai jiwa, asal usul, dan akhir alam semesta.
Mersenne menyebut kedua orang ini “ateis” karena dia tidak
sependapat dengan konsepsi ketuhanan mereka, bukan
karena keduanya mengingkari eksistensi sang Wujud
Tertinggi. Dalam cara yang hampir sama, kaum pagan
kerajaan Romawi menyebut orang Yahudi dan Kristen
“ateis” karena pandangan ketuhanan mereka yang berbeda.
Selama abad keenam belas dan ketujuh belas, kata “ateis”
masih digunakan secara terbatas dalam berpolemik semata,
walaupun mungkin saja untuk menyebut lawan Anda “ateis”,
dalam cara yang sama seperti menjuluki orang sebagai
“anarkis” atau “komunis” pada akhir abad kesembilan belas
dan awal abad kedua puluh.
Setelah Reformasi, orang-orang menjadi penasaran terhadap
Kristen yang baru. Seperti halnya “sihir” (atau, bahkan,
“anarkis” maupun “komunis”), “ateis” merupakan proyeksi
kecemasan yang terpendam. Sebutan itu merefleksikan
sebuah kekhawatiran tersembunyi tentang iman dan bisa
dipakai sebagai taktik kejutan untuk menakut-nakuti orang
beragama dan meningkatkan kesalehan. Dalam Laws of
Ecclesiastical Polity, teolog Anglikan Richard Hooker
(1554-1600) menyebutkan dua jenis kelompok ateis:
kelompok kecil yang tidak beriman kepada Tuhan dan
kelompok lain dengan jumlah lebih besar yang berpura-pura
seakan-akan Tuhan tidak ada. Orang cenderung tidak bisa
melihat perbedaan ini dan hanya memusatkan perhatian pada
~501~ (pustaka-indo)