Page 509 - Karen Armstong - Sejarah Tuhan
P. 509
http://pustaka-indo.blogspot.com
ateisme praktis yang disebut belakangan. Dalam The
Theatre of God’s Judgement (1597), tokoh “ateis” imajiner
rekaan Thomas Beard mengingkari ketentuan Tuhan,
keabadian jiwa, dan kehidupan sesudah mati, tetapi tidak
mengingkari eksistensi Tuhan. Dalam risalahnya Atheism
Closed and Open Anatomized (1634), John Wingfield
menyatakan, “orang munafik itu Ateis; manusia yang licik
dan jahat adalah Ateis terbuka; pelaku pelanggaran yang
merasa aman, berani, dan bangga adalah Ateis: siapa pun
45
yang tidak bisa dididik dan direformasi adalah Ateis.” Bagi
penyair Welsh, William Vaughan (1577-1641), yang
mendukung kolonialisasi Newfoundland, orang-orang yang
menaikkan sewa atau menutup desa-desa adalah ateis nyata.
Dramawan Inggris Thomas Nashe (1567-1601) menyatakan
bahwa semua orang yang ambisius, tamak, rakus, sombong,
dan pezina adalah ateis.
Istilah “ateis” merupakan sebuah penghinaan. Tak seorang
pun ingin menyebut dirinya ateis. Istilah itu belum
merupakan lencana yang bisa dikenakan dengan bangga.
Namun, pada abad ketujuh belas dan kedelapan belas, orang-
orang di Barat mengembangkan sikap yang membuat
pengingkaran eksistensi Tuhan menjadi sesuatu yang bukan
hanya mungkin, tetapi juga disenangi. Mereka menemukan
dukungan terhadap pandangan mereka di dalam sains. Akan
tetapi, Tuhan para Reformis pun dapat dipandang selaras
dengan sains baru. Karena percaya pada kekuasaan mutlak
Tuhan, Luther dan Calvin menolak pandangan Aristoteles
bahwa alam memiliki kekuatan yang intrinsik di dalam dirinya
sendiri. Mereka berkeyakinan bahwa alam sama pasifnya
dengan seorang Kristen, yang hanya bisa menjadi penerima
berkah penyelamatan dari Tuhan dan tidak bisa melakukan
apa-apa untuk dirinya sendiri. Secara eksplisit, Calvin memuji
kajian ilmiah tentang alam yang melaluinya Tuhan yang gaib
~502~ (pustaka-indo)