Page 528 - Karen Armstong - Sejarah Tuhan
P. 528
http://pustaka-indo.blogspot.com
rancangan di dalam alam. Kenyataannya, alam sarat dengan
kekacauan dan sama sekali tidak mengungkapkan tanda-
tanda perancangan yang cerdas. Oleh karena itu, mustahil
kita bisa mendeduksikan suatu kepastian tentang prinsip-
prinsip pertama dengan mencermati semesta. Descartes
tidak mau berurusan dengan hal-hal yang mungkin: yang
dicarinya adalah kepastian seperti yang ditawarkan oleh
matematika. Kepastian itu juga bisa ditemukan dalam
proposisi sederhana dan terbukti dengan sendirinya, misalnya:
“Apa yang sudah terjadi tidak bisa dibatalkan,” yang
merupakan kebenaran tak terbantah. Selanjutnya, ketika
sedang duduk merenung di depan perapian, dia menemukan
pepatah yang terkenal: Cogito, ergo sum; Aku berpikir
maka aku ada. Seperti halnya Agustinus, kira-kira dua belas
abad sebelumnya, Descartes mendapatkan bukti eksistensi
Tuhan di dalam kesadaran manusia: bahkan keraguan justru
membuktikan eksistensi orang yang meragukan! Kita tidak
bisa memastikan sesuatu yang ada di luar diri kita, namun
kita bisa pasti tentang pengalaman batin kita sendiri.
Argumen Descartes ternyata merupakan penyusunan ulang
atas Dalil Ontologis Anselm. Tatkala kita ragu-ragu,
keterbatasan dan hakikat diri yang berhingga menjadi
terungkap. Namun, kita tak mungkin tiba pada gagasan
tentang “ketidaksempurnaan” jika kita tidak memiliki
konsepsi pendahulu tentang “kesempurnaan”. Seperti halnya
Anselm, Descartes menyimpulkan bahwa ketiadaan
kesempurnan adalah mustahil; pernyataan itu merupakan
contradictio in terminis. Pengalaman kita tentang keraguan,
dengan demikian, menyatakan kepada kita bahwa suatu
wujud yang tertinggi dan sempurna—yaitu Tuhan—pastilah
ada.
Descartes selanjutnya mendeduksi fakta-fakta tentang
hakikat Tuhan dari “bukti” eksistensinya ini, dengan cara
~521~ (pustaka-indo)