Page 53 - Karen Armstong - Sejarah Tuhan
P. 53
http://pustaka-indo.blogspot.com
El], sebab katanya, “Aku telah melihat Allah
14
berhadapan muka, tetapi nyawaku tertolong!”
Semangat epifani ini lebih dekat kepada Iliad dibanding
kepada monoteisme Yahudi yang baru, ketika kedekatan
hubungan dengan tuhan dianggap gagasan yang menghujat.
Walaupun kisah-kisah kuno ini menceritakan pertemuan para
patriark dengan tuhan dalam cara yang mirip sekali dengan
kaum pagan yang sezaman dengan mereka, kisah-kisah itu
sebenarnya memperkenalkan sebuah kategori baru
pengalaman keagamaan. Di sepanjang Alkitab, Abraham
disebut sebagai seorang yang “beriman”. Pada masa
sekarang, kita cenderung mendefinisikan iman sebagai
penegasan akal terhadap suatu kredo, tetapi, seperti yang
telah kita saksikan, para penulis Alkitab tidak memandang
iman kepada Tuhan sebagai keyakinan yang abstrak atau
metafisikal. Ketika mereka memuji “iman” Abraham,
mereka tidak bermaksud memuji ortodoksinya (penerimaan
sebuah pandangan teologis yang benar tentang Tuhan) tetapi
kepercayaannya, dalam cara yang agak mirip dengan cara
kita menyatakan bahwa kita menaruh kepercayaan kepada
seseorang atau sebuah cita-cita.
Di dalam Alkitab, Abraham adalah seorang yang beriman
karena dia percaya bahwa Tuhan akan menepati janji-
janjinya, sekalipun janji-janji itu tampak tak masuk akal.
Bagaimana mungkin Abraham dapat menjadi bapa sebuah
bangsa yang besar jika istrinya, Sarah, mandul? Bahkan,
membayangkan bahwa dia dapat mengandung seorang anak
sungguh janggal—Sarah telah melewati masa menopause—
sehingga ketika mereka mendengar janji ini, Sarah maupun
Abraham tertawa. Ketika, di luar dugaan, anak laki-laki
mereka akhirnya lahir, mereka menamainya Ishak, sebuah
nama yang bisa diartikan “tertawa”. Akan tetapi, dagelan itu
~46~ (pustaka-indo)