Page 551 - Karen Armstong - Sejarah Tuhan
P. 551
http://pustaka-indo.blogspot.com
Tuhan karena begitu banyak orang yang ternyata dikeluarkan
dari rencana Tuhan. Dengan demikian, filsafatnya menafikan
keterampilan intelektual yang dituntut oleh falsafah—yang
hanya mungkin bagi sekelompok kecil orang—dan lebih
bersandar pada akal sehat, yang berada dalam jangkauan
setiap orang. Namun, ada bahaya dalam pendekatan
semacam itu, karena terlalu gampang membuat Tuhan
seperti itu berkompromi dengan prasangka-prasangka kita
sendiri dan lantas memutlakkannya.
Ketika Phaedon diterbitkan pada 1767, pembelaan
filosofisnya atas keabadian jiwa diterima secara positif di
kalangan kaum non-Yahudi atau Kristen. Seorang pastor
muda Swiss, Johann Caspar Lavater, menulis bahwa
penyusun buku itu telah siap untuk berpindah ke Kristen dan
menantang Mendelssohn untuk mempertahankan
Yudaismenya di depan umum. Mendelssohn, di luar
kehendaknya, pada saat itu jatuh ke dalam pembelaan
rasional terhadap Yudaisme, meskipun dia tidak mendukung
keyakinan-keyakinan tradisional semacam konsep tentang
bangsa pilihan atau tanah yang dijanjikan. Dia harus meniti
garis yang halus: tidak ingin mengikuti Spinoza atau
mengundang amarah orang-orang Kristen terhadap kaum
Yahudi jika caranya membela Yudaisme ternyata sangat
sukses. Sebagaimana para deis lainnya, dia berpendapat
bahwa wahyu hanya bisa diterima jika kebenaran-
kebenarannya bisa dibuktikan akal. Doktrin Trinitas tidak
memenuhi kriteria ini. Yudaisme bukanlah agama yang
diwahyukan, melainkan merupakan hukum yang diwahyukan.
Konsepsi Yahudi tentang Tuhan secara esensial identik
dengan agama natural yang dimiliki oleh seluruh umat
manusia dan bisa dibuktikan oleh akal semata. Mendelssohn
bersandar pada dalil-dalil kosmologis dan ontologis kuno
dengan menyatakan bahwa fungsi hukum adalah untuk
~544~ (pustaka-indo)