Page 560 - Karen Armstong - Sejarah Tuhan
P. 560
http://pustaka-indo.blogspot.com
anggota tubuh manusia sebagaimana yang berada dalam roti
ekaristi.’ ‘Setiap yang tercipta adalah ilahiah.’” 35
Sebenarnya ini adalah reinterpretasi atas pandangan Plotinus.
Esensi abadi dari segala sesuatu, yang beremanasi dari Yang
Esa, adalah ilahiah. Segala sesuatu yang ada rindu untuk
kembali kepada Sumber Ilahinya dan pada akhirnya akan
terserap kembali ke dalam Tuhan: bahkan ketiga oknum
Trinitas pada akhirnya akan kembali terserap ke dalam
Kesatuan primal. Keselamatan dicapai melalui pengenalan
watak ketuhanan yang ada pada setiap diri di dunia. Risalah
yang ditulis oleh salah seorang anggota kelompok
persaudaraan itu, yang ditemukan pada sebuah bilik pertapa
dekat Rhine, menjelaskan: “Esensi Tuhan adalah esensiku
dan esensiku adalah esensi Tuhan.” Kelompok itu sering
mengatakan: “Setiap makhluk rasional pada hakikatnya
36
dirahmati.” Pandangan semacam ini lebih merupakan
kerinduan untuk melampaui keterbatasan manusia daripada
sebuah kredo filosofis. Seperti yang dikatakan oleh Uskup
Strasbourg, Kelompok Persaudaraan itu “mengatakan bahwa
mereka pada dasarnya adalah Tuhan, tanpa sedikit pun
perbedaan. Mereka percaya bahwa semua kesempurnaan
ilahi berada di dalam diri mereka, bahwa mereka abadi dan
berada dalam keabadian.” 37
Cohn berpendapat bahwa sekte-sekte Kristen ekstrem di
Inggris pada masa Cromwell, seperti Quaker, Leveler, dan
Ranter, merupakan kebangkitan kembali bid‘ah Free Spirit
abad keempat belas. Ini bukan merupakan kebangkitan yang
disadari, tentu saja, namun para pelaku pada abad ketujuh
belas ini memiliki visi panteistik yang tidak sulit untuk
dipandang sebagai versi populer dari panteisme filosofis
Spinoza. Winstanley mungkin tidak percaya sama sekali
kepada Tuhan yang transenden, meskipun dia—seperti
~553~ (pustaka-indo)