Page 72 - Karen Armstong - Sejarah Tuhan
P. 72
http://pustaka-indo.blogspot.com
kecenderungan untuk memandang para dewa sebagai simbol
ketunggalan Realitas transenden. Ajaran Weda sarat dengan
ritual pengurbanan, namun bangkitnya ketertarikan kepada
praktik India kuno “Yoga” (“pengekangan” daya pikir melalui
disiplin konsentrasi khusus) bermakna bahwa orang-orang
menjadi tidak puas terhadap suatu agama yang hanya
memusatkan perhatian kepada aspek-aspek eksternal.
Pengurbanan dan liturgi tidaklah memadai: mereka ingin
menemukan makna batin ritusritus ini. Kita akan melihat
bahwa nabi-nabi Israel merasakan ketidakpuasan yang
sama. Di India, dewa-dewa tidak lagi dipandang sebagai
wujud lain yang berada di luar para penyembahnya; justru
manusia yang berusaha memperoleh realisasi kebenaran
batiniah.
Dewa-dewa tidak lagi penting di India. Selanjutnya mereka
digantikan oleh pemuka agama, yang akan dipandang lebih
tinggi daripada para dewa. Ini merupakan penegasan kuat
tentang nilai kemanusiaan dan keinginan untuk
mengendalikan nasib: ini akan menjadi pandangan
keagamaan terbesar di anak benua itu. Agama baru
Hinduisme dan Buddhisme tidak menyangkal eksistensi para
dewa, atau melarang orang untuk menyembahnya. Dalam
pandangan mereka, hambatan dan penyangkalan semacam
itu akan merusak. Sebagai gantinya, orang Hindu dan
Buddha mencari cara baru untuk mentransendensikan para
dewa, untuk melampaui mereka. Selama abad kedelapan,
para pemuka agama mulai mengetengahkan isu-isu ini dalam
risalah yang disebut Aranyakas dan Upanishads, yang
secara kolektif dikenal sebagai Vedanta: penutup Weda.
Upanishads terus-menerus muncul sehingga pada akhir
abad kelima SM, telah terkumpul sebanyak dua ratus buah.
Tidak mungkin melakukan generalisasi terhadap agama yang
kita sebut Hinduisme karena ia mengelak dari sistem dan
~65~ (pustaka-indo)