Page 78 - Karen Armstong - Sejarah Tuhan
P. 78
http://pustaka-indo.blogspot.com
tertinggi nirvana lebih luhur daripada para dewa. Ketika
orang Buddha mengalami kedamaian atau rasa transendensi
dalam meditasi, mereka tidak mempercayai bahwa itu
berasal dari hubungan dengan wujud yang supranatural.
Keadaan seperti itu alamiah bagi kemanusiaan: bisa dicapai
oleh setiap orang yang hidup dengan cara yang benar dan
mempelajari teknik Yoga. Oleh sebab itu, alih-alih bersandar
kepada suatu dewa, Buddha mengajak murid-muridnya untuk
menyelamatkan diri mereka sendiri.
Ketika bertemu murid pertamanya di Benares setelah
peristiwa pencerahannya, Buddha memaparkan sistemnya
yang didasari oleh satu fakta esensial: seluruh eksistensi
adalah dukkha. Semuanya terdiri dari penderitaan: seluruh
kehidupan adalah suram. Segalanya datang dan pergi dalam
perubahan tak bermakna. Tak ada yang mempunyai arti
penting yang permanen. Agama dimulai dengan persepsi
bahwa ada sesuatu yang salah. Di masa pagan kuno, ada
mitos tentang dunia arketipal suci, yang bersesuaian dengan
dunia kita dan bisa menanamkan kekuatannya kepada
manusia. Buddha mengajarkan bahwa adalah mungkin untuk
melepaskan diri dari dukkha melalui cara hidup yang
penyayang terhadap sesama makhluk, berbicara dan
bertindak lemah lembut, ramah, dan benar, serta menjauhkan
diri dari segala obat-obatan atau bahan memabukkan yang
bisa mengaburkan pikiran. Buddha tidak mengklaim telah
menciptakan sistem ini. Dia bersikeras bahwa dia hanya
“memperoleh” saja: “Aku telah melihat ajaran kuno, sebuah
Jalan kuno, yang ditelusuri Buddha dari zaman yang lalu.” 31
Seperti undang-undang paganisme, Buddhisme juga dibatasi
oleh struktur eksistensi dasar, yang melekat dalam kondisi
kehidupan itu sendiri. Ia mempunyai realitas objektif bukan
karena ia dapat diperlihatkan melalui bukti logis, melainkan
~71~ (pustaka-indo)