Page 79 - Karen Armstong - Sejarah Tuhan
P. 79
http://pustaka-indo.blogspot.com
karena setiap orang yang secara serius berusaha untuk hidup
dengan cara itu akan menemukan bahwa sistem itu ternyata
efektif. Keefektifannya, bukan bukti filosofis atau historis,
selalu menjadi ciri khas agama yang berhasil. Selama
berabad-abad orang Buddha di banyak belahan bumi telah
merasakan bahwa gaya hidup ini menghasilkan pengertian
tentang makna transendensi.
Karma mengikat manusia kepada lingkaran kebangkitan
kembali tak berujung dalam rangkaian kehidupan yang sarat
derita. Namun, jika mereka mampu mengubah perilaku egois
mereka, mereka akan mampu mengubah nasib. Buddha
membandingkan proses kelahiran kembali ini dengan api
yang menyulut sebuah lampu, yang darinya nyala api lampu
kedua berasal, demikian seterusnya hingga nyala itu padam.
Jika seseorang masih menyala dengan dosanya pada saat dia
mati, maka dia akan menyulut lampu yang lain. Akan tetapi,
jika api itu dipadamkan, lingkaran penderitaan akan berhenti
dan nirvana akan diperoleh. “Nirvana” secara harfiah
berarti “padam” atau “usai”. Ini bukan semata-mata sebuah
keadaan negatif. Di kalangan orang Buddha, ia justru
memainkan peran yang sebanding dengan Tuhan. Seperti
dijelaskan Edward Conze dalam Buddhism: its Essence and
Development, kaum Buddhis sering menggunakan
penggambaran teistik untuk menjelaskan nirvana, realitas
tertinggi:
Kami diajarkan bahwa nirvana itu permanen,
stabil, abadi, diam, tak lapuk oleh usia, tak
pernah mati, tidak dilahirkan, dan tidak
diciptakan, bahwa ia adalah kekuatan,
anugerah, dan kebahagiaan, perlindungan yang
aman, tempat berteduh, dan tempat dengan rasa
aman yang tak terpunahkan; bahwa ia adalah
Kebenaran sejati dan Realitas tertinggi;
bahwa ia adalah kebaikan, tujuan puncak, dan
~72~ (pustaka-indo)