Page 138 - Pendidikan Rusak-Rusakan (Darmaningtyas)
P. 138
dibayarkan oleh murid penggunaannya diserahkan kepada
sekolah, termasuk untuk peningkatan kesejahteraan guru dan
j
karyawan. Tapi sering sekali karena umlah tenaga nonedukatif
di sekolah-sekolah itu minoritas, maka posisi tawarnya pun
lemah.
2. Gaji Tinggi, Mubazir
Sudah barangtentu, berita kenaikan gaji guru yang cukup
j
signifikan umlahnya selalu disambut gembira oleh para guru
maupun pejuang, karena hal itu merupakan salah satu bukti
perhatian pemerintah terhadap nasib guru. Selama Orde Baru,
guru hanya dihibur dengan nyanyian sebagai pahlawan tanpa
tanda jasa, tapi suaranya dimanipulasi untuk mendukung status
quo. PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia) sebagai organi-
sasi profesi, misalnya, menjadi kendaraan politik untuk peme-
nangan Golkar. Tapi kesejahteraan para guru kurang mendapat
perhatian. Bahkan institusi-institusi seperti PGRI, KORPRI, dan
Golkar turut membebani guru melalui pungutan iuran anggota
yang harus dibayarkan oleh guru PNS setiap bulannya. Tapi
bila guru tidak disukai oleh atasan atau tidak mau mendukung
Golkar, mereka dikucilkan atau dimutasi ke pelosok.
Reformasi dalam bidang politik membawa dampak pada
nasib guru. Dimulai dengan Presiden BJ. Habibie yang mem-
berikan kenaikan tunjangan krisis sebesar Rp 150.000 kepada
semua PNS, termasuk guru. Tunjungan itu tidak otomatis dicabut
ketika kondisi ekonomi mulai membaik, sebaliknya ditambahan
ke dalam gaji pokok PNS. Presiden Abdurrahman Wahid (Gus
Dur) hadir dengan pembenahan gaji yang lebih sistematik dan
sangat berarti. Semua itu menimbulkan kegembiraan bagi para
guru karena nasib guru menjadi lebih baik.
Meskipun demikian, beberapa kawan, termasuk yang men-
"
jadi guru, sering berkomentar: Setuju kalau kesejahteraan guru
ditingkatkan, tapi sesungguhnya guru yang ada sekarang ini
tidak layak digaji tinggi, karena mereka tidak memiliki kompe-