Page 242 - Pendidikan Rusak-Rusakan (Darmaningtyas)
P. 242
di "universitas-universitas" yang kebanyakan ber-"kampus" di
ruko-ruko —berkecimpung di dunia akademik? Jika benar demi-
kian, jelas siapa pun, kecuali para penjual dan konsumen gelar
"doktor" itu, sepakat bahwa praktik jual-beli gelar seperti itu
harus diberantas. Sebab, itu sudah lebih dari sekadar penipuan
dalam terminologi hukum. Praktik-praktik emacam itu jelas me-
s
rupakan korupsi pendidikan yang merugikan masyarakat luas.
Bahkan jika kita percaya bahwa maju-mundurnya sebuah bangsa
sangat ditentukan oleh kualitas pendidikan, praktik-praktik
manipulatif seperti itu bukan hanya bisa membawa kemunduran,
tetapi juga kehancuran bangsa yang bersangkutan.
Akan tetapi, sejauh ini belum terdengar —bukan berarti
pasti tidak ada —sebuah lembaga pendidikan tinggi mendapat
sorotan publik karena kedapatan memiliki staf akademik yang
memiliki gelar "doktor" seperti itu. (Mekanisme birokrasi lega-
lisasi ijasah akademik, bila dijalankan dengan benar, tidak
memungkinkan seorang "doktor kaki lima" menjadi staf di
lembaga pendidikan tinggi.) Yang pernah terdengar malah pen-
cabutan gelar doktor seorang alumnus universitas negeri terbe-
sar di Indonesia karena proses pencapaian gelar itu ternyata
telah melanggar kode etik keilmuan.
Dengan kata lain, lembaga pendidikan tinggi yang masih
(berniat) memegang teguh komitmennya pada dunia pendidikan
dan keilmuan niscaya tidak akan menoleransi praktik-praktik
akademik yang tidak jujur. Secara normatif, dunia akademik
"
tidak menyediakan tempat sejengkal pun buat para doktor kaki
lima".
Lalu siapakah mereka itu?
Menurut sinyalemen yang ada, mereka adalah tokoh-tokoh
publik, yang dunia kesehariannya sama sekali di luar dunia
akademik. Mereka bukan mengajar atau meneliti di perguruan
tinggi atau lembaga-lembaga keilmuan lainya. Artinya, kiprah
hidup keseharian mereka dengan "kedoktorannva" itu tidak
mengkontaminasi akademik.
242