Page 246 - Pendidikan Rusak-Rusakan (Darmaningtyas)
P. 246
Selain itu, dengan gelar doktornya, terutama doktor ilmu-ilmu
sosial, ia pun mudah laku menjadi komentator di media massa
untuk pembicara di seminar-seminar. Ia bisa tampil bak selebritis.
Bahkan kalau tidak ada rasa malu, ia pun bisa menjual" namanya
"
untuk dipajang di perguruan-perguruan tinggi swasta, semen-
tara cukup mengajar di awal dan di akhir semester, atau bahkan
sama sekali tidak mengajar. Pendek kata, citra seorang doktor
di negara berkembang auh dari gambaran keras gelanggang
j
gladiator sebagaimana dipaparkan di atas.
Gelar doktor ternyata tak hanya mendatangkan prestise,
tapi uga sejumlah privilese. Dalam konteks ini, gelar doktor
j
bukan tiket memasuki gelanggang keilmuan secara resmi, tapi
tiket mendapatakan prestise dan privilese. Peribahasa klasik bera-
kit-rakit ke hulu, bercium g-renang ke tepian, bersakit-sakit dahulu, ber-
senang-senang kemudian betul-betul berlaku buat sebagian besar
doktor di negara berkembang. Padahal, seorang doktor seha-
rusnya berakit-rakit ke hulu dan tidak tahu di mana hulu itu.
Dengan citra doktor seperti itu, tidaklah mengherankan
bila seorang tokoh publik yang telah memiliki banyak privilese
r
tapi akus prestise, getol memburu gelar doktor sekalipun palsu.
Perbuatan itu mungkin akan terhenti atau berkurang jika citra
doktor tak lebih dari pekerja, sekalipun itu pekerja ilmu. Citra
semacam ini akan berkembang jika keberadaan dan keberlang-
sungan universitas —institusi publik yang paling banyak menye-
rap para doktor — mirip seperti keberadaan dan keberlangsungan
perusahaan. Dengan demikian, orang akan melihat sendiri bahwa
bukan hanya proses menjadi doktor itu saja sulit, tetapi konse-
j
kuensinya dari menyandang gelar doktor itu uga tak kalah sulit-
nya. Adakah orang yang ingin mengindentifikasi diri sebagai
"kuli"?
246