Page 248 - Pendidikan Rusak-Rusakan (Darmaningtyas)
P. 248

umuman    kurang   dari  satu  bulan.  Menurut  pengumuman,     pro-
              gram  itu  sifatnya  wajib,  harus  diikuti  oleh  semua  murid  tanpa
              kecuali.  Biaya  yang  harus  dibayar  oleh  setiap  murid  adalah  Rp
              1.000,-  khusus  untuk  sewa  bus  dan  tiket  masuk.  Sedang  makan
              dan  minum jadi   tanggungan   murid   sendiri.  Jika  dihitung  secara
              objektif, besarnya  pungutan  itu  memang  tidak  tinggi. Tapi  menu-
              rut ukuran  keluarga  kami  yang miskin,  tetap  memberatkan.  Apa-
              lagi  dalam  satu  keluarga,  ada  dua  orang  yang  duduk  di  SLTP
              dan  keduanya   harus  berangkat.  Sempat  muncul   keraguan  untuk
              tidak  ikut,  tapi  karena  takut  perintah  yang  sifatnya  memaksa
              itu,  akhirnya  ikut  pula.  Seingat  saya,  hanya  ada  satu  murid  di
              kelas  saya  yang  tidak  ikut  dengan  alasan  kakaknya  di  kelas  III
              yang lebih  utama  untuk ikut, sementara  untuk  ikut  kedua-duanya
              tidak  mampu   biayanya.

                   Persentuhan    berikutnya   terjadi  pada  saat  kelas  III  SM A.
              Dan  sejak  saat  itu,  saya  menyaksikan  pengalaman    yang  sama
              terjadi  di  banyak  tempat  dan  pada  semua  tingkatan  pendidikan
              (dari  SD  sampai  SMTA).   Pernah  pada   tahun  1987,  ketika  saya
              melakukan    penelitian,  seorang  ibu  di  Kecamatan  Karangmojo,
              Gunungkidul,    Yogyakarta,   menuturkan    bahwa   seekor  sapinya
              telah  dijual  ketika  anaknya  yang  duduk  di  S M A  akan  studi/  tour
              ke  Bali. Setelah  omong-omong, saya  tahu  bahwa  sekolah  anaknya
              itu  ternyata  satu  almamater  dengan  saya.  Maka  saya  pun  lang-
              sung  melayangkan surat   protes  kepada  kepala sekolah.  Saya  ber-
              syukur  karena  surat  saya  itu  ditanggapi  secara  positif.  Tapi  di
              banyak   tempat  di  seluruh  Indonesia,  praktik  pendidikan  yang
              koersif  itu  masih  terus  berlangsung.

                   Itulah  awal  mula  masuknya    industri  pariwisata  ke  dalam
              dunia  pendidikan   formal.  Tanpa  disadari,  para  guru  atau  pelak-
              sana  pendidikan   pada   umumnya     telah  menjadi   alat  industri
              pariwisata  di  negeri  ini  untuk  memaksa  murid-murid  menjalan-
              kan  program  pariwisata  dengan   istilah  yang  lebih  keren,  seperti
              Studi/  Tour,  Dharma  Wisata,  atau  Karya  Wisata.  Semua  substansinya
              sama,  yaitu  menjadikan   murid   sebagai  pangsa   pasar  industri
              pariwisata.  Pandangan   yang   bias  bisnis  itu  tidak  tampak  buruk
   243   244   245   246   247   248   249   250   251   252   253