Page 249 - Pendidikan Rusak-Rusakan (Darmaningtyas)
P. 249
dalam praktik, karena dilegitimasi dengan pandangan-pandang-
an yang heroik, seperti untuk menambah wawasan murid, me-
ngenal kekayaan tanah air, menanamkan wawasan kebangsaan,
menghidupkan industri pariwisata, dan sebagainya. Tapi tidak
pernah dilakukan kajian secara serius mengenai perbandingan
antara tingkat biaya yang dikeluarkan oleh masyarakat dengan
faedah yang diperoleh murid, termasuk sumbangannya pada
peningkatan kualitas pendidikan nasional. Tidak ada korelasi
j
positif antara besarnya umlah uang yang dikeluarkan oleh orang
tua dengan peningkatan mutu pendidikan yang dilakukan oleh
sekolah.
Mengapa para guru atau pengelola pendidikan (yayasan,
dinas, dan sebagainya) rela menjadi garda depan untuk pema-
saran industri pariwisata? Tidak lain, karena iming-iming komisi
yang ditawarkan oleh industri pariwisata, baik itu dari jasa
transportasi, catering, maupun tieketing. Sesungguhnya, secara
kumulatif, nilai rupiah yang diterima oleh para guru dan
pengelola sekolah itu terlalu kecil, tidak sebanding dengan
pengorbanan harga diri mereka dan juga pengorbanan murid.
Tapi nilai rupiah itu menjadi besar bila dibandingkan dengan
kecilnya honorarium atau gaji yang mereka terima tiap bulan.
Terlebih bagi guru-guru swasta di sekolah-sekolah kecil, yang
honornya lebih kecil dibanding honor buruh bangunan atau
buruh pabrik. Rata-rata guru swasta di Indonesia menerima
honor di bawah upah minimum regional (UMR).
Memasuki 1980-an, industri penerbitan, khususnya pener-
j
bitan buku-buku pelajaran, uga mulai merambah ke lembaga
pendidikan formal. Beberapa penerbit buku pelajaran yang prog-
resif masuk ke sekolah-sekolah dengan membawa bekal reko-
mendasi dari Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, Kepala
Kanwil, Kepala Kandep, Kepala Dinas dan Kancam (untuk SD).
Dekade 1980-an ini juga ditandai dengan masuknya industri
tekstil ke sekolah-sekolah untuk mencukupi kepentingan sera-
S
gam sekolah, baik seragam nasional (merah putih untuk D, biru