Page 250 - Pendidikan Rusak-Rusakan (Darmaningtyas)
P. 250

putih  untuk  SLTP,  dan  abu-abu   putih  untuk   SMTA)    maupun
              untuk seragam   khas masing-masing    sekolah  yang  saling berbeda.

                   Pada  1990-an,  institusi  yang  masuk  ke  sektor  pendidikan
              bertambah   lagi agamnya,   yaitu  bisnis  asuransi.  Banyak  sekolah,
                              r
              terutama   di  kota-kota  besar,  yang  memaksa   muridnya    untuk
              turut  masuk  ke  asuransi  dengan  cara  pembayaran  polisnya  dila-
              kukan  pada  saat  penerimaan   murid   baru.  Di  samping  itu,  juga
              masuk   industri  sepatu.  Hanya  saja,  masuknya   industri  sepatu
              keluarga  Cendana   pada  tahun  1997  itu  gagal  setelah  adanya  pro-
              tes  terbuka  dari  masyarakat.

                   Semua   praktik  bisnis  di  sekolah  itu  berjalan  lancar  karena
              kolusi antara  pengusaha  (industri wisata,  penerbitan,  tekstil,  asu-
              ransi, sepatu,  dan  lain-lain)  dengan  penguasa  maupun  pelaksana
              pendidikan.   Sebagai  contoh,  surat  rekomendasi   seorang  Dirjen
              atau  Kanwil  Departemen    P  dan  K,  atau  Kepala  Kandep/Dinas
              Pendidikan   yang  dibawa   oleh  penerbit  tertentu,  tidaklah  dida-
              patkan  secara  gratis,  melainkan  diperoleh  melalui   perjuangan
              yang berliku  dan  pengorbanan yang banyak,     termasuk uang juta-
              an  rupiah.  Dan  pengorbanan  itu  harus  mendapat tebusan  berupa
              keuntungan   dari  hasil  penjualan  buku-buku  ke  sekolah-sekolah
              yang dilandasi oleh surat  rekomendasi   tersebut.  Simbiosis  mutu-
              alisme  antara  penguasa   dan  pengusaha   itulah  yang  menjamin
              lancarnya  bisnis  mereka  ke  sekolah-sekolah   formal.

                   Tapi  dari  banyak  institusi  bisnis  yang  merambah  masuk  ke
              sektor pendidikan   formal,  yang  paling  merusak jiwa  dan  pikiran
              bangsa  Indonesia   adalah  industri  penerbitan  buku,  khususnya
              buku-buku    pelajaran,  terutama  untuk  tingkat  SD  dan  SLIP.  Hal
              itu  disebabkan  oleh  beberapa  hal,  antara  lain:

              1.  Mutu  buku  pelajaran  dari  industri  penerbitan yang diproduksi
                 dan  dipasarkan   dengan    sistem  kolusi  itu  rata-rata  rendah
                 (baca  hasil  disertasi  Dr.  Sumardi,  1999), sehingga  dengan  sen-
                 dirinya  menyesatkan    bagi  murid-murid.
              2.  Buku-buku    pelajaran  itu  didesain  hanya   menguntungkan
                 penerbit  saja,  tanpa  mempertimbangkan      kepentingan   masa
   245   246   247   248   249   250   251   252   253   254   255