Page 258 - Pendidikan Rusak-Rusakan (Darmaningtyas)
P. 258

Ironisnya,  kegagalan   sistem  pendidikan   yang  amat   prag-
              matis  itu  sekarang  akan  kita  ulangi  lagi.  Kalau  kita  mencermati
              wacana   sekaligus  perubahan   sistem  pendidikan    yang  berkem-
              bang  pascareformasi,  maka   ada  kecenderungan    mereduksi   pen-
              didikan   sebagai  lembaga    kursus,   utamanya    kursus   Bahasa
              Inggris  dan  teknik  komputer.  Hal  itu  tidak  lepas dan  pandangan
              global,  yang  melihat  bahwa  kemampuan     berbahasa  Inggris  dan
              teknik  komputer  merupakan    kunci  utama  untuk  masuk   ke  pasar
              kerja  global.  Tanpa  memiliki  dua  hal  itu,  kita  akan  tertinggal.

                   Pandangan emacam       itu  tidak  keliru,  tapi  menyesatkan apa-
                               s
              bila  dijadikan  ideologi  baru  untuk  mendisain  pendidikan  nasio-
              nal, sehingga seluruh energi  diarahkan ke sana.  Akibatnya, anak-
              anak  sejak  usia TK sudah diperkenalkan  dengan   pelajaran  Bahasa
              Inggris  dan  komputer.    Di  banyak   tempat,   pelajaran  bahasa
              Inggris  telah  menjadi  pelajaran  wajib  atau  dileskan  untuk murid
              TK.  Bahkan  di  kota  Solo,  misalnya,  ada  TK  yang  telah  menggu-
              nakan  bahasa  Inggris sebagai  alat  komunikasi  sehari-hari.  Tanpa
              kita sadari, sistem pendidikan  nasional justru  menyumbang    pada
              timbulnya   kekerasan   budaya.   Sebab,  dengan    mengutamakan
              salah  satu  bahasa  (Inggris)  dan  mengabaikan  bahasa  yang  lain,
              kita  telah  m e l a k u k a n  p e m b u n u h a n  karakter  m a s y a r a k a t .
              Padahal,  pendidikan   mestinya   harus  menanamkan     benih-benih
              keragaman,   pluralisme,  dan  multikultural.  Bukan   keseragaman
              dan  monokultur.

                   Pendidikan    mestinya   mengajarkan    sikap  kritis:  Betulkah
              seluruh  lulusan  sekolah  memerlukan    bekal  bahasa  Inggris  dan
              komputer untuk    dapat  hidup mandiri? Jangan-jangan    hanya seki-
              tar  10%  saja  dari  lulusan  sekolah  yang  memerlukan  bekal  kedua
              keterampilan   tadi,  sedangkan   90%  adalah   mereka   yang  tetap
              bertahan  di  sektor  agraris,  perikanan,  kelautan,  dan  kerajinan;
              yang  semuanya   dapat  mereka  jalani  tanpa  harus  memiliki  bekal
                                                              a
              Bahasa  Inggris dan  komputer.  Boleh jadi,  bagi nak-anak di  peda-
              laman   Sumatra,   Sulawesi,   Kalimantan,   Maluku,    dan  Papua,
              kemampuan     berbahasa   Inggris  dan  teknik  komputer  itu  bukan
              kebutuhan   mendesak.    Yang   mendesak   bagi  mereka   justru  ke-



              258
   253   254   255   256   257   258   259   260   261   262   263