Page 260 - Pendidikan Rusak-Rusakan (Darmaningtyas)
P. 260
membuat kita tunduk pada kemauan pasar global, yang selalu
menghendaki agar hanya mereka yang mampu berbahasa Inggris
saja sehingga dapat diterima menjadi tenaga kerja mereka. Sean-
dainya kita memiliki sikap yang jelas, tentu kita dapat bersikap
tegas. Bila pasar menghendaki kita dapat berbahasa Inggris dan
mahir komputer, maka merekalah yang mestinya menyediakan
fasilitas untuk kita emua agar memiliki kemampuan kedua-dua-
s
nya. Tapi kalau pada realitasnya, kita yang harus bayar sendiri,
maka jangan-jangan standar itu sengaja mereka buat untuk mem-
buka pasar baru, yaitu pasar kursus bahasa Inggris dan pasar
komputer. Dengan demikian, begitu naifnya bila kita hanya me-
nyerah begitu saja pada tuntutan pasar.
Sistem berpikir yang menyerah pada kemauan pasar itu
adalah d a m p a k dari model pendidikan kita yang terbiasa
mengajarkan berpikir secara eksklusif: "ini atau itu" (globalisasi
kalau ingin maju; menolak kalau ingin tertinggal). Pendidikan
kita tidak pernah mengajarkan berpikir secara inklusif yang
melihat kemungkinan lain, jalan ketiga sebagai alternatifnya.
Padahal, jalan ketiga sebagai alternatif sangat mungkin terbuka.
Betulkah untuk dapat maju hanya terbuka satu jalan, yaitu mela-
lui globalisasi yang diikatkan dalam VVTO? Bagaimana halnya
posisi negara-negara atau sebagian masyarakat di dunia ini yang
menolak kehadiran VVTO, yang dinilai hanya sebagai perpan-
jangan kepentingan Amerika Serikat untuk menguasai sumber
daya dunia?
Dampak dari cara berpikir yang eksklusif itu terlihat jelas
pada para insinyur, ekonom, dokter, ahli farmasi, dan lain-lain.
Kebiasaan mereka berpikir linear setiap kali melihat masalah
hanya dari satu aspek. Para insinyur sipil, misalnya, kalau melihat
kemacetan lalu lintas, solusi yang mereka tawarkan hanya satu,
yaitu membangun jalan baru atau memperluas jalan yang telah
ada. Sebab padanya hanya diajarkan bagaimana menghitung nilai
proyek, tidak diajarkan jalan ketiga. Faktor-faktor lain yang lebih
menentukan, seperti budaya masyarakat yang lebih suka mema-
kai mobil/motor pribadi, rendahnya disiplin lalu lintas, serta
260