Page 265 - Pendidikan Rusak-Rusakan (Darmaningtyas)
P. 265
Selama akhir paro kedua abad ke-I9, universitas-universi-
tas tradisional di Eropa tidak mempunyai fakultas rekayasa. Ini
menggambarkan kegigihan mempertahankan konsepsi yang
memandang universitas sebagai tempat mencari kebenaran demi
kebenaran itu sendiri. Universitas dipandang sebagai tempat
untuk mempelajari ilmu-ilmu nonpraktis, seperti teologi, huma-
niora, matematika, dan ilmu-ilmu fisika. Ini menggambarkan
suatu keyakinan bahwa tidaklah wajar bagi suatu universitas
sebagai lembaga pengajaran dan penelitian untuk memberikan
mata pelajaran terapan. Tetapi, mulai akhir abad ke-I 9, beberapa
universitas di Amerika Serikat menambahkan jurusan rekayasa
ke dalam kurikulum mereka. Jepang menyusul pada 1886, dengan
mendirikan Fakultas Teknik di dalam Universitas Kekaisaran
Tokyo. Kemudian, Uni Soviet juga belajar dari pola pendidikan
tinggi di Amerika dalam bidang pendidikan sains dan teknologi.
Selain tiga tahapan yang diperkenalkan oleh Halsey di atas,
kita juga melihat perkembangan lain dari universitas, yaitu
tuntutan untuk menjadi "universitas kritis". Perkembangan ini
bermula dari tuntutan-tuntutan yang dilancarkan oleh para
mahasiswa dan anggota staf akademis universitas-universitas
Amerika agar universitas-universitas mereka sebagai sebuah lem-
baga, mengeluarkan pernyataan terbuka mengenai sikap univer-
sitas sebagai suatu kesatuan dalam mengutuk perang di Asia
Tenggara pada dekade 1960-an dan 1970-an, atau mengenai kebi-
jakan pemisahan rasial oleh Pemerintah Afrika Selatan. Para
mahasiswa yang radikal maupun beberapa profesor dan rektor
beranggapan, universitas harus menjadi "universitas kritis".
Yang mereka maksud, antara lain, bahwa universitas sebagai
sebuah kesatuan, melalui wakil-wakil yang ditunjuk secara resmi,
haruslah membuat pernyataan terbuka mengenai segala macam
persoalan publik. Terlepas apakah persoalan-persoalan itu secara
langsung menyentuh universitas sebagai lembaga pengajaran dan
penelitian atau tidak.