Page 259 - Pendidikan Rusak-Rusakan (Darmaningtyas)
P. 259

mampuan     mengelola  sumber-sumber     alam,  termasuk  mengolah
               hasil  laut  agar  memiliki  nilai  ekonomis  lebih  tinggi.  Sayang,
               keterampilan   yang  mereka   harapkan   itu  justru  tidak  diperoleh
               di  sekolah-sekolah  formal,  karena  pendidikan  nasional  tetap  di-
               desain  secara  sentralistik;  dari  Sabang  sampai  Merauke  meng-
               utamakan    Bahasa  Inggris  dan  teknik  komputer.

                    Reduksionisme     pendidikan   sebagai  lembaga   kursus   kete-
               rampilan   itu  bertolak  dari  pandangan,  bahwa  pendidikan   men-
               jadi  instrumen  bagi  penyiapan  tenaga  kerja  industri  atau  untuk
               ekonomi   global,  sehingga  ukuran  keberhasilan   dari  pendidikan
               terletak  pada  banyak  sedikitnya  lulusan  sekolah  yang  terserap
               pada  ekonomi   global.  Bahaya  dari  pandangan  semacam    itu  ada-
               lah  mengasingkan    subjek  didik  dari  lingkungan   alam  sekitar,
               lingkungan   sosial,  maupun   lingkungan   budayanya.   Sejak  kecil,
               subjek  didik telah  dihadapkan  pada  pandangan    dan  sikap  hidup
               yang tunggal atau   monokultur.   Padahal,  kehidupan  kita,  khusus-
               nya  bangsa  Indonesia,  amat  beragam,  plural,  dan  multikultural.
               Kekayaan   bahasa juga   kekayaan  budaya.   Oleh  sebab  itu,  pendi-
               dikan  mestinya    turut  menjaga   kekayaan   budaya    bangsa  ini.
               Bukan   malah   menghancurkannya      melalui  kolonialisasi  bahasa
               Inggris.

                    Persoalan   monopoli   Bahasa   Inggris  dan  teknik  komputer
               tak  hanya  berhenti  di  situ,  tapi  memiliki  dampak  yang   amat
               luas.  Tulisan  Anita  Lie  mengenai  kolonialisasi  bahasa  (Kompas,
               14/11/2002)    secara  jelas  telah  memberikan  gambaran    kepada
               kita  betapa  besarnya  uang   yang  dikeluarkan   oleh  masyarakat
               Indonesia   untuk  dapat   berbahasa   Inggris  melalui  penyeleng-
               garaan  kursus-kursus    Bahasa  Inggris.  Sebagian  besar  uang  itu
               mengalir   ke  orang-orang  atau  bangsa   yang  berbahasa   Inggris,
               baik melalui  perannya sebagai  guru  atau  pemilik  lembaga  kursus.
                    Pertanyaan   yang  dapat  diajukan   di  sini  adalah:  Mengapa
               masyarakat   begitu  rela  membayar   uang  yang  begitu  besar  seka-
               dar  untuk  dapat  berbahasa  Inggris  dengan  mengorbankan    keka-
               yaan   bahasa  kita  sendiri?  Mekanisme     pembelajaran    Bahasa
               Inggris  seperti  sekarang  (yang  tidak  gratis)  sesungguhnya  telah




                                                                                 259
   254   255   256   257   258   259   260   261   262   263   264