Page 279 - Pendidikan Rusak-Rusakan (Darmaningtyas)
P. 279

seperti  tukang-tukang saja,  tidak dimaknai  sebagai  manusia  yang
               mampu    bernalar, berpikir, bermain,  berpantun, berkesenian,   dan
               sebagainya.   Implikasi   metodisnya,    sebuah   universitas   akan
                                                   "
               disebut  berhasil  kalau  melahirkan tukang-tukang"    yang  mampu
               bekerja  di  sektor  industri  manufaktur,  tambang,   perkebunan,
               kehutanan, jasa  perbankan,  komunikasi, dan   sebagainya.  Sedang-
               kan  kemampuan      melakukan    analisis,  kemampuan    melakukan
               kajian  atau  penelitian  terhadap  persoalan-persoalan   di  masya-
               rakat,  serta  kemampuan     mengembangkan       ilmu  pengetahuan
               tidak  pernah  dihitung  sebagai  bentuk  keberhasilan  sebuah   uni-
               versitas.  Padahal, justru  bidang-bidang inilah yang menjadi tugas
               utama   sekaligus   indikator  keberhasilan    sebuah   universitas.
               Sebab,  kemampuan     melahirkan   "tukang-tukang"    dapat  dilaku-
               kan  oleh  lembaga-lembaga    kursus.


               Otonomi     atau  Privatisasi?

                    Tanpa   harus   menyinggung     masalah   otonomi   perguruan
               tinggi,  uraian  di  atas  kiranya  cukup jelas  memberikan  gambaran
               mengenai   kompetensi    program   studi,  apa  patut  dikembangkan
               oleh  universitas-universitas  sekarang.  Meskipun   demikian,   me-
               rujuk  pada  tema  diskusi  kali  ini,  saya  ingin  mengajak  pembaca
               untuk  mendiskusikan     tema  otonomi  perguruan    tinggi  tersebut.

                    Pertanyaan    awal  yang  saya  ajukan  adalah:  Betulkah   ada
               Otonomi   Perguruan   Tinggi  itu?  Ataukah  itu  bukan  hanya  ilusi
               kita?  Jangan-jangan   yang  disebut  dengan   otonomi    perguruan
               tinggi  itu  hanya  eufemisme  dari  "privatisasi".  Hanya  saja  agar
               rumusan    itu  tidak  menimbulkan   gejolak  di  masyarakat,  maka
               dibungkus   dengan   kata  yang  halus  dan  menyenangkan.   Kecuri-
               gaan  ini  patut  kita  kemukakan  kalau  kita  mencoba  merunut  ke
               belakang   tentang  perkembangan     wacana   "Otonomi    Perguruan
               Tinggi";  bahwa   wacana    tersebut  baru  bergulir  sekitar  empat
               tahun   terakhir  setelah  masa  reformasi,   terutama   bersamaan
               dengan   perubahan    status  PTN   menjadi   Badan   Hukum    Milik
               Negara   (PT-BHMN).
   274   275   276   277   278   279   280   281   282   283   284