Page 298 - Pendidikan Rusak-Rusakan (Darmaningtyas)
P. 298
s
Kedua, konsep pendidikan gratis esungguhnya telah diper-
kenalkan dan dijalankan oleh masa Pemerintahan Soekarno. Pasal
23 secara tegas menyatakan:
Di semua sekolah negeri, kecuali sekolah rendah dan sekolah luar
biasa, murid-murid membayar uang sekolah yang ditetapkan menurut
kemampuan orang tuanya.
Berdasarkan Pasal 23 di atas, jelas bahwa pendidikan gratis
hanya diperuntukkan bagi sekolah rendah (SD) dan sekolah luar
biasa. Di sini terlihat adanya komitmen yang jelas dari pemerin-
tah untuk yang lemah.
Sedangkan peraturan membayar ongkos pendidikan di luar
sekolah rendah dan sekolah luar biasa itu terdapat pada Pasal
24, yang menyatakan:
Untuk pendidikan pada beberapa sekolah menengah dan
sekolah kepandaian (keahlian), murid-murid membayar sejum-
lah uang pengganti pemakaian alat-alat pelajaran.
Namun, bagi murid yang pandai tapi tidak mempunyai
biaya untuk melanjutkan pendidikannya, Pasal 25 UU No.4
Tahun 1950 menyatakan:
Murid-murid yang ternyata pandai tapi tidak mampu membayar
uang sekolah dan uang alat-alat pelajaran dapat dibebaskan dari
pembayaran beaya itu.
Undang-undang pada saat itu tak hanya menjadi macan
kertas saja, tapi diimplementasikan dalam kebijakan. Pada masa
awal kelas I SD, saya masih merasakan sendiri sekolah itu gratis,
tidak dipungut apa-apa. Pungutan sekolah untuk pertama kali
di SD saya, dan cukup besar, baru terjadi tahun 1969 (awal Pelita
I) sebesar Rp.60,- per anak. Sejak itu, pungutan biaya pendidikan
a
S
untuk nak-anak D terus berlangsung hingga sekarang. Bahkan
kondisinya sekarang, anak-anak SD bisa mengeluarkan biaya
lebih besar daripada mahasiswa, karena meskipun dikatakan
SPP gratis, realitasnya pungutan ini dan itu sangat banyak dan
terus menerus (drindhil).
299