Page 300 - Pendidikan Rusak-Rusakan (Darmaningtyas)
P. 300

yang  dianut  siswa.  SKB  tersebut  di  Yogyakarta —yang  dijadikan
               sebagai  pilot  project  untuk  pelaksanaannya  — sempat  menimbulkan
               ketegangan   antarsekolah   dan  antara  pengelola   sekolah  swasta
               dengan   Kanwil  Pendidikan   DIY  beserta  aparat  birokrasi  lainnya.
                    Ironisnya,  pertama,  SKB  tersebut  keluar  dari  pemerintahan
               transisi,  yang  di  mana  pun  tidak  boleh  mengambil  keputusan-
               keputusan   strategis.  Kedua,  SKB  itu  muncul  saat bangsa  ini  sedang
               memasuki    masa  transisi  menuju  demokrasi, di  mana orang  tidak
               boleh  diperlakukan    secara  diskriminatif  atas  dasar  keyakinan
               agama,   ras,  gender,  fisik,  dan  sebagainya.  Ketiga,  SKB  tersebut
               tanpa  disadari   justru  akan  mengantarkan     bangsa   Indonesia
               kembali  ke  masa-masa   abad  pertengahan,   di  mana  filsafat  pada
               waktu   itu  mengabdi  pada  kepentingan   agama,   sehingga  kemu-
                                                       (
               dian  memunculkan    masa  pencerahan Aufklärung).     Ironis  bila  di
               satu  pihak,  pendidikan  diarahkan  untuk  menghadapi   globalisasi,
               yang  berarti  pula  memiliki  konsekuensi   penghargaan   terhadap
               nilai-nilai  multikultural,  multietnis,  multiagama,  dan  sebagainya,
               tapi  di  sisi  lain,  siswa  diarahkan  kepada  pemikiran  yang  ter-
               kotak-kotak.

                    Pada   praktiknya,   pemerintah   pada  waktu    itu  juga  tidak
               melakukan    kontrol  yang  terlalu  ketat.  Sebagai  contoh,  pilihan
               atas  pakaian  sekolah,  metode   mengajar,  metode   evaluasi,  dan
               sebagainya,  secara  seragam  baru  terjadi  sejak  Orde  Baru  merasa
               kuat  (Pelita  III). Sebelumnya,  masing-masing sekolah  mempunyai
               otonomi   sendiri  untuk   menentukan     warna   seragam,   metode
               mengajar,  dan  evaluasinya.  Yang diberikan  pemerintah   hanyalah
               rambu-rambu     saja.

                    Otonomi juga   diberikan  dalam   mengatur hari  libur dan hari
               sekolah.  Pasal  26  menyatakan:

               (1)  Menteri  Pendidikan,  Pengajaran  dan  Kebudayaan  menetapkan  untuk
                  tiap  jenis  sekolah  negeri  hari-hari  liburan  sekolah,  dengan  mengisi
                  kepentingan  pendidikan  faktor  musim,  kepentingan  agama,  dan  hari-
                  hari  raya  kebangsaan.
   295   296   297   298   299   300   301   302   303   304   305