Page 58 - Pendidikan Rusak-Rusakan (Darmaningtyas)
P. 58

S
                   Praktik jual  beli  buku  pelajaran dari  tingkat D-SMTA yang
              memiskinkan    dan  memperbodoh    masyarakat,  karena  selalu  ter-
              jadi  setiap  semester  atau  catur  vvulan  dan  tidak  bisa  diwariskan
              kepada  adik  kelasnya,  masih  terus  belangsung  sampai  sekarang,
              dan  tidak  ada  tanda-tanda  untuk  berhenti.  Padahal,  sekali  beli
              buku  pelajaran  untuk  satu  anak  SD,  harganya  tak  kurang  dari
              Rp  200.000.  Atau,  dalam  satu  tahun  tak  kurang  dari  Rp 400.000.
              Uang sebesar  itu  memang tidak ada artinya bagi  kelas menengah
              ke  atas,  karena  uang  saku  mereka  dalam  satu  bulan  saja  bisa
              lebih  dari  Rp  1  juta.  Tapi  bagi  mereka  yang  hidup  sebagai  sopir
              angkutan  umum,   sopir  pribadi,  buruh  bangunan,  buruh  pabrik,
              buruh  perkebunan,   buruh  tani,  petani,  nelayan,  pemulung,  kar-
              yawan   kecil,  pedagang  kecil,  dan  sebagainya,  uang  tersebut
              sangat  memberatkan.   Apalagi  kebutuhan   pelajar  bukan  hanya
              buku pelajaran saja, tapi juga uang saku, transportasi, BP3, seragam
              sekolah,  dan  sebagainya.

                   Keluhan   juga  menyangkut   soal  pakaian  seragam  sekolah.
              Ternyata,  instruksi  Menteri Juwono Sudarsono  agar  murid  baru
              tidak  harus  membeli  pakaian  seragam  baru,  tidak  didengarkan
              oleh kepala sekolah  dan guru.  Keharusan  untuk membeli  pakaian
              seragam baru  masih  tetap berlaku  untuk semua tingkatan. Sebab,
              dalam  bisnis  pakaian  seragam  itu  memang  banyak  pihak  yang
              diuntungkan, termasuk   pengelola  sekolah. Yang dirugikan hanya
              orang  tua  murid  saja,  karena  sebetulnya  anaknya  bisa  mewarisi
              pakaian  seragam  kakak  (kelasnya)  tapi  terpaksa  harus  membeli
              baru,  sebab  itu  bagian  dari  daftar  ulang  sebagai  calon  murid
              baru.

                   Sebetulnya,  tak  ada  yang  salah  dengan  pakaian  seragam
              sekolah  karena  itu  dapat  mengurangi  terjadinya  persaingan  di
              lingkungan   sekolah.  Hanya  saja,  ketika  mekanisme  pembelian
              pakaian  seragam  itu  sudah  menjadi  keharusan  dan  dikoordinasi
              oleh  sekolah,  di  sanalah  masalah  itu  muncul.  Substansi  yang
              disampaikan   melalui cara-cara tersebut  bukan  keharusan bersera-
              gamnya,   melainkan   keharusan  membelinya.   Kalau  saja  pesan
              utama yang disampaikan adalah    keharusan berseragam,   itu  tidak
   53   54   55   56   57   58   59   60   61   62   63