Page 63 - Pendidikan Rusak-Rusakan (Darmaningtyas)
P. 63
tivva G30S/PKI. Sebaliknya, mereka memiliki kaitan emosional
dengan rezim Orde Baru yang otoriter dan membangkrutkan
perekonomian negara —yang lebih parah dari tahun 1965. Pelu-
kisan sejarah Orde Baru secara objektif (tak hanya kehebatannya
saja) kiranya lebih relevan dengan kebutuhan murid sekarang
daripada indoktrinasi bahaya laten komunis. Bagi generasi pasca-
Orde Baru, bahaya laten Orde Baru itu jauh lebih konkret dari-
pada bahaya laten PKL
Dengan paradigma semacam itu, maka materi pelajaran seja-
rah nasional jelas perlu dirombak total. Murid-murid pada masa
reformasi perlu diajar secara kritis. Penulisan sejarah hendaknya
lebih objektif; semua aktor sejarah perlu diberi ruang yang sama.
Kekuatan dan kelemahan masing-masing orde agar ditampilkan
secara seimbang. Masa pergerakan kemerdekaan, Orde Lama,
Orde Baru, dan masa Orde Reformasi perlu diberi ruang yang
sama, jangan sampai yang satu ditonjolkan dan yang lain dijelek-
jelekkan. Atau sebaliknya, yang satu dijelekkan dan yang lain
dipuja-puja.
Dengan deskripsi sejarah yang objektif, biarlah murid me-
nafsirkan sendiri mana yang terbaik dan mana yang terburuk
untuk mereka ikuti. Biarlah setiap generasi membaca sejarah
bangsanya sesuai dengan zamannya. Jangan sampai cara mem-
baca sejarah generasi Orde Baru dipaksakan juga kepada gene-
rasi Orde Reformasi. Demikian juga, Orde Reformasi perlu mem-
berikan ruang bagi munculnya pembacaan sejarah yang lain, yang
mungkin berbeda dengan cara pembacaannya. Oleh sebab itulah,
penulisan sejarah secara lebih objektif lebih penting bagi kehi-
dupan berbangsa. Inilah tantangan para guru IPS atau sejara-
wan, untuk menuliskan kembali buku pelajaran sejarah bagi mu-
rid dari SD, SMP, SMTA, sampai PT.
Menurut Prof. Dr. Sartono Kartodirjo (1991), seorang seja-
rawan berperan mirip dengan seorang saksi di pengadilan. Dia
wajib mengungkapkan fakta-fakta sedemikian rupa sehingga
umum mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Dia tidak di-