Page 59 - Pendidikan Rusak-Rusakan (Darmaningtyas)
P. 59
jadi masalah, karena seragam dapat diperoleh melalui berbagai
cara, termasuk mewarisi kakak (kelas) atau saudara, bahkan
mungkin tetangga.
Sekarang, kebijakan pakaian seragam sekolah itu malah
dobel, seiring kebijakan baru yang mewajibkan murid memakai
baju muslim setiap hari Jum'at. Tanpa disadari, kebijakan terse-
but menambah beban baru bagi orang tua murid, karena selain
harus menyediakan pakaian seragam biasa (merah putih untuk
SD, biru putih untuk SMP, dan abu-abu putih untuk SMTA),
mereka juga harus menyediakan seragam muslim, yang meski-
pun warnanya sama, tapi jenis potongannya berbeda. Peraturan
semacam itu tidak hanya berlaku untuk sekolah-sekolah Islam,
tapi juga sekolah-sekolah negeri yang notabene untuk publik.
Bagi penulis, peraturan yang mewajibkan setiap Jum'at
mengenakan pakaian muslim itu memang agak mengherankan,
karena muncul justru ketika iklim politik mengarah pada proses
demokratisasi. Masyarakat tidak berani melontarkan kritik ter-
J
hadap kebijakan semacam itu karena khawatir dituduh SARA.
Ideologi SARA — yang diciptakan oleh rezim Orde Baru — memang
telah menghegemoni masyarakat sehingga menjadi tidak kritis
lagi. Padahal, secara prinsip, sekolah publik itu mestinya untuk
umum (semua golongan), sehingga peraturan-peraturan yang
dibuat semestinya juga mengakomodasi kepentingan semua
golongan, bukan hanya kepentingan satu golongan saja. Sebab
kalau pendidikan saja sudah bersikap demikian, lalu melalui apa
nilai-nilai persatuan dan kesatuan bangsa itu akan ditanamkan?
Jadi, bagi masyarakat awam, reformasi pendidikan belum
mereka rasakan sama sekali, karena ternyata beban yang harus
mereka pikul justru lebih berat dibanding sebelum reformasi.
Paling tidak, sebelum reformasi jenis pakaian seragam itu cukup
satu, tapi sekarang mau tidak mau harus dua. Pungut-memungut
biaya dengan argumentasi yang bermacam-macam masih tetap
mewarnai dunia pendidikan formal, dan malah dilegitimasi oleh
konsep Manajemen Berbasis Sekolah.