Page 89 - Pendidikan Rusak-Rusakan (Darmaningtyas)
P. 89
karena secara fisik jarak antara guru dan penentu kebijakan itu
amat dekat. Tapi di lapangan, guru merasakan bahwa urusan
nasib sekarang lebih birokratis dibanding dengan sebelum oto-
nomi daerah.
Secara umum, pelaksanaan otonomi daerah mempersempit
cakrawala dan mobilitas guru dari satu daerah ke daerah lain,
karena masing-masing daerah bersikap tertutup, tidak mau
melepas guru dari wiliayahnya, atau sebaliknya, menerima guru
dari wilayah lain. Masing-masing daerah mengurusi dirinya sen-
diri, sehingga mutasi guru antar daerah sulit dilakukan. Di sisi
lain, kebijakan itu memang berdampak positif, terutama dapat
menahan perpindahan guru-guru dari daerah miskin ke daerah
yang lebih makmur. Tapi di sisi lain, kurang akomodatif terhadap
realitas bangsa yang merupakan negara kesatuan dan sekaligus
juga batas-batas antarwilayahnya memang tipis.
1. Memupuk K K N
Fenomena menarik yang patut dicatat dengan adanya oto-
nomi daerah adalah, proses rekrutmen tenaga guru sekarang
ini menjadi jauh lebih buruk daripada masa sebelumnya. I lai itu
karena praktik KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) yang pada
masa-masa sebelumnya dijalankan secara sembunyi-sembunyi,
sekarang dijalankan secara terang-terangan. Dalam kolusi seka-
rang ini, tawar-menawar jabatan guru dilakukan secara terang-
terangan antara calon guru dengan aparat Pemda. Entah ada
koordinasi antardaerah atau tidak, yang pasti, ada semacam ke-
seragaman tarif untuk dapat diterima menjadi guru negeri.
Untuk menjadi guru SD, misalnya, tarifnya antara Rp 10.000.000-
Rp 20.000.000. Sedangkan untuk menjadi guru SMP-SMTA,
karena dasar pendidikannya sama-sama SI, tarifnya antara Rp
20.000.000-Rp 40.000.000. Tarif sebesar itu berlaku untuk calon
guru di pelosok Jawa sampai metropolitan seperti Jakarta. Sedi-
kit guru yang direkrut tanpa melalui proses jual beli tersebut.