Page 12 - Tan Malaka - MADILOG
P. 12
menyesal karena tiada bisa berbuat begitu dan selalu gagal kalau
mencoba berbuat begitu.
Bagi seseroang yang hidup dalam pikiran yang mesti disebarkan, baik
dengan pena maupun dengan mulut, perlulah pustaka yang cukup.
Seorang tukang tak akan bisa membikin gedung, kalau alatnya seperti
semen, batu tembok dan lain-lain tidak ada. Seorang pengarang atau
ahli pidato, perlu akan catatan dari buku musuh, kawan ataupun guru.
Catatan yang sempurna dan jitu bisa menaklukan musuh secepat kilat
dan bisa merebut permufakatan dan kepercayaan yang bersimpati
sepenuh-penuhnya. Baik dalam polemik, perang-pena, baik dalam
propaganda, maka catatan itu adalah barang yang tiada bisa
ketinggalan, seperti semen dan batu tembok buat membikin gedung.
Selainnya dari pada buat dipakai sebagai barang bahan ini, buku-buku
yang berarti tentulah besar faedahnya buat pengetahuan dalam arti
umumnya.
Ketika saya menjalankan pembuangan yang pertama, yaitu dari
Indonesia, pada 22 Maret 1922, saya cukup diiringi oleh buku, walaupun
tiada lebih dari satu peti besar. Disini ada buku-buku agama, Qur’an dan
Kitab Suci Kristen, Budhisme, Confusianisme, Darwinisme, perkara
ekonomi yang berdasar liberal, sosialistis, atau komunistis, perkara
politik juga dari liberalisme sampai ke komunisme, buku-buku riwayat
Dunia dan buku sekolah dari ilmu berhitung sampai ilmu mendidik.
Pustaka yang begitu lama jadi kawan dan pendidik terpaksa saya
tinggalkan di Nederland karena ketika saya pergi ke Moskow saya mesti
melalui Polandia yang bermusuhan dengan Komunisme. Dari beberapa
catatan nama buku di atas, orang bisa tahu kemana condongnya pikiran
saya.
Di Moskow saya cocokkan pengetahuan saya tentang komunisme.
Dalam waktu 8 bulan disini saya sedikit sekali membaca, tetapi banyak
mempelajari pelaksanaan komunisme dalam semua hal dengan
memperhatikan segala perbuatan pemerintah komunis Rusia baik
politik ataupun ekonomi, didikan ataupun kebudayaan dan dengan
percakapan serta pergaulan dengan bermacam-macam golongan. Disini
saya juga banyak menulis perkara Indonesia buat laporan Komintern.
Ketika saya meninggalkan Rusia, memang saya tiada membawa buku
apapun, sedang buku peringatanpun tidak. Pemeriksaan di batas
meninggalkan Rusia keras sekali.
Tetapi sampai di Tiongkok dan kemudian di Indonesia, saya dengan giat
mengumpulkan buku-buku yang berhubung dengan ekonomi, politik,
sejarah, ilmu pengetahuan, science (sajans), buku-buku baru yang
berdasar sosialisme dan komunisme. Mengunjungi toko buku adalah
pekerjaan yang tetap dan dengan giat saya jalankan. Nafsu membeli
11