Page 14 - Tan Malaka - MADILOG
P. 14

Kantongpun tak aman. Di antara Merqui dan Ranggoon di pantai laut,
               disanalah terletak beberapa buku peringatan cukup dengan rancangan,
               catatan dan suggesti atau nasehat buat pekerjaan sekarang.

               Dalam  permulaan  3  tahun  di  Singapura  saya  amat  miskin  sekali.  Gaji
               yang diperoleh  sedikit sekali  - enam setengah rupiah  sebulan. Dengan
               tak  ada  diploma-Singapura,  tak  lahir  di  Singapura,  memakai  pasport
               Tiongkok, walaupun bisa bercakap Tionghoa, tetapi tiada bisa membaca
               huruf  Tionghoa  susah  mendapat  kerja  yang  berhasil  besar  pada
               perusahaan  Tionghoa.  Susah  pula  mendapat  izin  mengajar  bahasa
               Inggris dari tuan Inspektur, sedangkan masyarakat Indonesia tak berarti
               sama  sekali  di  bekas  kota  "Tumasek’’  (nama  Singapura  sekarang  di
               Jaman  Majapahit)  Ini  uang  buat  makan  secukupnya  saja,  pakaian
               jangan disebut lagi. Masuk jadi anggota pustaka (Library) tiada mampu.
               Disini pengetahuan saya walaupun kesehatan sempurna kembali, cuma
               bisa ditambah dengan isi surat kabar, dan pengamatan mata dan telinga
               sendiri.  Tetapi  lama  kelamaan  atas  usaha  sendiri  saya  mendapatkan
               pekerjaan dan hasil pekerjaan yang baik sekali.

               Seperti  saya  sebut  diatas,  akhirnya  saya  dapat  bekerja  pada  sekolah
               Normal Tinggi (Nanyang Chinese Normal School) sebagai guru Inggris
               dan belakangan juga sebagai guru Matematika dalam dan luar sekolah
               tersebut. Saya mulai kumpulkan catatan buat buku-buku yang mau saya
               tulis  sekarang.  Rafles  Library  memberi  kesempatan  dan  minat  yang
               besar. Buku yang paling belakang saya pinjam ialah Capital, Karl Marx.
               Tetapi  armada  udara  Jepang  tak  berhenti  datangnya  hari-hari.
               Sebentar-sebentar  saya  mesti  lari  sembunyi.  Cuma  dalam  lubang
               perlindungan  saya  bisa  baca  Capital,  buat mengumpulkan  bahan  yang
               sebenarnya  saya  ulangi  membacanya.  Sampai  15  Febuari  1942  saya
               masih  pegang  Capital  itu  dengan  beberapa  catatan.  Tetapi  sesudah
               Singapura  menyerah,  semua  penduduk  laki-perempuan,  tua-muda
               dihalaukan  dengan  pedang  terhunus  kiri-kanan,  dengan  ancaman  tak
               putus-putusnya  menuju  ke  satu  lapangan.  Disini  ratusan  penduduk
               Tionghoa  ditahan  satu  hari  buat  diperiksa.  Disini  saya  juga  turut
               menghadapi senapan mesin. Di belakang hari kami mendengar bahwa
               maksud  tentara  jepang  yang  bermula  ialah  memusnahkan  semua
               penduduk Tionghoa yang ada di Singapura. Tetapi dibatalkan oleh pihak
               Jepang yang masih mempunyai pikiran sehat dan rasa tanggung jawab
               terhadap dunia lainnya.
               Sebelum kami dikirim ke padang tersebut, saya sudah maklum bahwa
               tak ada pelosok rumah atau halaman rumah yang mesti kami tinggalkan
               selama  pemeriksaan  diri  dijalankan,  yang  kelak  akan  dilupakan  oleh
               Kempei  Jepang.  Sepeninggalan  kami  rumah  tempat  saya  tinggal
               diperiksa habis-habisan. Barang berharga habis di copet.




                                                                                          13
   9   10   11   12   13   14   15   16   17   18   19