Page 15 - Tan Malaka - MADILOG
P. 15
Sebelum meninggalkan rumah menuju ke lapangan pemeriksaan saya
beruntung mendapat kesempatan menyembunyikan buku Capital ke
dalam air. Di "upper Seranggoon Road’’ di muka rumah tuan Tan Kin
Tjan, disanalah sekarang di dalam tebat (empang) bersemayam buku
Capital terjemahan "Das Kapital’’ ke bahasa Inggris, pinjaman saya, Tan
Ho Seng, dari Raffles Library di Singapura.
Sesudah dua atau tiga minggu Singapura menyerah, saya coba dengan
perahu menyebrang ke Sumatra, tetapi gagal karena angin sakal. Saya
terpaksa mengambil jalan Penang-Medan. Hampir dua bulan saya di
jalan antara Singapura dengan Jakarta, melalui semenanjung Malaka,
Penang, selat Malaka (perahu layar) Medan, Padang, Lampung, selat
Sunda (perahu) dan Jakarta. Di jalan saya bisa beli buku karangan
Indonesia. Di antaranya Sejarah Indonesia, yang mesti saya
sembunyikan pula baik-baik, sebab dalamnya ada potret saya sendiri.
Inilah pustaka saya dulu dan sekarang. Ada niatan buat membeli
sekarang, tetapi banyak keberatan. Pertama uang, kemudian banyak
buku mesti datang dari luar negeri, dan ketiga dari pada dicatat dari
satu atau dua buku lebih baik jangan dicatat atau catat dari luar buku
ialah ingatan sama sekali, seperti maksud saya tentang Madilog ini.
Biasanya buku-buku reference yang dipetik, atau pustaka itu ditulis di
bawah pendahuluan. Biasanya diberi daftar pustaka yang dibaca oleh
pengarang. Tetapi dalam hal saya, dimana perpustakaan tak bisa
dibawa, saya minta maaf untuk menulis pasal terkhusus tentang
perpustakaan itu.
Dengan ini saya mau singkirkan semua persangkaan bahwa buku
Madilog ini semata-mata terbit dari otak saya sendiri. Sudah tentu
seorang pengarang atau penulis manapun juga dan berapapun juga
adalah murid dari pemikir lain dari dalam masyarakatnya sendiri atau
masyarakat lain. Sedikitnya ia dipengaruhi oleh guru, kawan sepaham,
bahkan oleh musuhnya sendiri.
Ada lagi! Walaupun saya tidak akan dan tidak bisa mencatat dengan
persis dan cukup, perkataan, kalimat, halaman dan nama bukunya,
pikiran orang lain yang akan dikemukakan, saya pikir tiada jauh
berbeda maknanya dari pada yang akan saya kemukakan.
Al Gazali pemikir dan pembentuk Islam, kalau saya tiada keliru pada
satu ketika kena samun. Penyamun juga rampas semua bukunya.
Sesudah itu Al Gazali memasukan semua isi bukunya ke dalam otaknya
dengan mengapalkannya. Bahagia (gunanya) mengapal itu buat Al
Gazali, sekarang sudah terang sekali kepada kita.
Pada masa kecil memang saya juga mengapal, tetapi bukan dalam
bahasa ibu, melainkan dalam bahasa Arab dan Belanda. Tetapi ketika
14