Page 16 - Asas-Asas dan Dasar-Dasar Tamasiswa
P. 16

15


                       berdiri bertingkat-tingkat. Mereka seharusnyalah di dalam masyarakat Taman Siswa

                       melepaskan  sebutan-sebutannya  yang  berasal  dari  alam  dan  jaman  feudal:  mas,

                       raden,  raden-mas,  raden-roro,  raden-ajeng,  mas-ajeng,  mas-ayui,  raden-ayu  dan

                       sebagainya.  Semua  mereka  itu  dengan  ikhlas  hati  mengganti  sebutan-sebutannya
                       masing-masing dengan titulatur baru, yaitu : “Ki” bagi segenap anggota laki-laki, “Nyi”

                       bagi kaum wanita kita yang sudah bersuami, sedang “Ni” bagi yang belum bersuami.

                       Kini  sudah  banyak  saudara-saudara  di  luar  Taman  Siswa  yang  memakai  sebutan-
                       sebutan yang kita adakan guna melaksanakan dasar “demokrasi” serta melancarkan

                       pergaulan umum itu.

                   2.  Tentang melenyapkan imbangan “majikan – buruh”: ialah sebenarnya mewujudkan

                       dasar “sosialisme” yang kita laksanakan secara damai, tidak dengan “klassenstrijd”.

                       Guru-guru kita tidak dapat “tractement” atau “gaji” dalam arti “upah” atau “loon”;
                       mereka  dapat  “nafkah”,  yakni  “biaya  hidup”  yang  diperhitungkan  menurut

                       kebutuhan-kebutuhan hidup yang nyata. Sehingga seorang yang mempunyai ijazah

                       yang rendah tetapi banyak anaknya, mungkin lebih banyak nafkah yang diterimanya
                       dari pada seorang guru yang berijazah lebih tinggi namun belum beristri. Lain dari

                       pada itu nafkah tadi tidak berupa jumlah yang pasti (berhubung dengan tidak tetapnya

                       pemasukan  uang  sebulan-bulannya),  tetapi  berupa  angka-angka  imbangan.  Yang

                       terpenting  ialah  bahwa  yang  menetapkan  dan  memutuskan  bukannya  “pengurus”

                       atau “kepala sekolah” (dalam Taman Siswa disebut “majelis” dan “ketua perguruan”),
                       namun “rapat anggota” yang mempunyai “hak legislatif” sepenuhnya. (Kini berhubung

                       dengan bergantinya alam dan zaman di sana sini sudah diadakan perubahan; ada juga

                       yang masih melanjutkan adat yang lama itu). Aturan nafkah ini adalah suatu contoh
                       “adat”  yang  kemudian  (tetapi  hanya  pokok-pokoknya  saja)  ditetapkan  sebagai

                       “peraturan”, namun peraturan yang berdasarkan kesukarelaan dan ditetapkan oleh

                       segenap “anggota keluarga”.

                   3.  Tentang urusan kekeluargaan:    Hampir seluruh peraturan untuk memelihara hidup

                       serta penghidupan kekeluargaan dalam Taman Siswa, tidak bersandarkan peraturan-
                       peraturan  yang  tertulis,  namun  pada  mulanya  semata-mata  timbul  sebagai  adat

                       kebiasaan, sedangkan dasar-dasarnya ialah “demokrasi” serta “keadilan social” dalam

                       lingkungan  cita-cita  “perikemanusiaan”  dan  “kodrat-alam”.  (Dalam  hal  ini  pernah
                       saudara KI Moh. Said, ketua-umum perguruan kita di Jakarta, minta perhatian saya,
   11   12   13   14   15   16   17   18   19   20   21