Page 163 - Seribu Alasan untuk Mati Hari Ini dan Kumpulan Cerpen
P. 163
rombongan teman ngumpulku yang sering begadang main
kartu atau mabuk bareng di café Panji di tepi pantai.
Aktifitas yang seharusnya sama sekali tidak melenceng
hingga sejauh yang aku bayangkan.
Rombongan kami beranggotakan 6 orang laki-laki yang
kesemuanya sudah bekerja dan beberapa termasuk diriku
telah berumah tangga. Seperti biasa, di saat kumpul di
café Panji setiap Rabu dan Jumat malam, sesekali kami
bertukar cerita tentang kehidupan di rumah. Cerita-cerita
yang lazim saling kami perdengarkan tanpa rasa malu
sedikit pun:
‘Istriku mulai menjengkelkan di rumah, setiap pulang kerja
selalu ada saja yang jadi bahan pertengkaran kami, mulai
dari naiknya harga barang yang tidak seimbang dengan
uang belanja bulanannya, dan kebutuhan sekolah si anak
yang terus membengkak. Andai saja dia bisa diam sejenak
dan membiarkan aku bekerja keras dengan baik demi
menghidupi mereka!’
‘Orang tuaku di rumah mulai rewel menuntut cari jodoh.
Dipikirnya setelah puas diselingkuhi istri pertama, lantas
aku akan segera menikah lagi dan bahagia. Untuk apa
hidup dengan komitmen, terpenjara dalam pernikahan,
kalau kita bisa bebas, banyak cewek yang antri demi
segepok uang untuk ditiduri, dan berganti setiap malam.
Jadi duda itu asyik!’
‘Cewekku memaksa tinggal bareng di kos-kosan. Padahal
sudah berulangkali aku bilang nanti bisa jadi bahan cibiran
orang. Satu waktu aku pulang kerja dan menemukan dia
jambak-jambakan sama perempuan sebelah kamar kami.
Ternyata dia selingkuh dengan suami tetangga kos kami.
161