Page 210 - Seribu Alasan untuk Mati Hari Ini dan Kumpulan Cerpen
P. 210

“Tiap perempuan itu punya naluri seorang ibu, nak  Rio.
            Tidak  penting  apakah  dia  benar  ibu  kamu  atau  bukan.
            Sekarang  pertanyaannya,  kamu  masih  mau  mencari
            harapan  lolos  dari  hukuman  tembak  mati,  atau  kamu
            putuskan  pasrah  dan  menunggu  ketetapan  tanggal
            kematian  kamu?”  pertanyaan  pak  Hartono  seketika
            membuatku terdiam.

            Aku melipat berkas surat di pangkuanku itu.

            “Boleh saya baca dulu di sel saya, pak?”

            “Kembalikan  setelah  sarapan  pagi  sebentar  ya.
            Persiapkan diri kamu untuk bertemu dia, nak Rio.” Kata
            pak  Hartono  sambil  memberi  aba-aba  dengan  tangan
            kanannya, agar aku kembali ke selku sekarang.

            “Permisi,  pak,”  kataku  sambil  beranjak  dari  kursi  dan
            meninggalkan ruangan itu.


                                     *

            Yang terhormat Saudara Rio,

            Pertama-tama saya harus meminta maaf, sebab mungkin
            anda kaget membaca surat ini. Saya Lastri dan kebetulan
            merupakan  salah  satu  staf  di  LSM  Bunda  Pertiwi  yang
            bergerak di bidang advokasi serta pendidikan untuk para
            perempuan.

            Dua tahun lalu, seorang perempuan berusia sekitar enam
            puluh tiga tahun, datang ke kantor saya dan mengadukan

                                     208
   205   206   207   208   209   210   211   212   213   214   215