Page 220 - Seribu Alasan untuk Mati Hari Ini dan Kumpulan Cerpen
P. 220
tergesa-gesa memegangi wajahku. Tangannya hangat
dan sedikit bergetar.
“Rio, anakku! Ini ibu, nak!” katanya dengan mata berkaca-
kaca, dipeluknya diriku seketika.
Suara isak tangis meluap darinya, membuatku ikut
tersentuh, tetapi aku hanya bisa diam, bercampur
bingung, sekaligus sedih. Aku tidak tahu harus
berekspresi seperti apa. Perlahan, aku hanya mencoba
merapatkan kedua tanganku, membalas pelukannya.
Lastri memandangi kami.
“Sudah, jangan menangis…bu,” kata aku sambil
mengambil posisi duduk, dia pun melepas pelukannya dan
menarik sebuah kursi, duduk tepat di sampingku.
Sambil memandangiku, dia menggunakan selendang
yang melingkar di lehernya untuk menyeka air matanya.
Lastri duduk di hadapan kami.
“Rio, inilah Iin, ibu kandung kamu. Akhirnya setelah hampir
tiga puluh tahun, kalian bisa berjumpa kembali…” Kata
Lastri dengan mata berkaca-kaca.
“Maaf, saya hanya tidak bisa menahan rasa haru saya
melihat kalian duduk berdampingan seperti ini,”
“Ceritakan ke ibu tentang bagaimana hari-hari kamu di
sini, nak,” kata ibuku sambil membelai kepalaku.
218