Page 222 - Seribu Alasan untuk Mati Hari Ini dan Kumpulan Cerpen
P. 222
Entah kenapa, aku jadi teringat suatu pemandangan di
tepi jalan, pada suatu sore. Saat itu aku sedang melintas,
dan di tengah keramaian pejalan kaki, ada seorang anak
yang berjalan ditemani oleh ibunya. Tangan mereka saling
bergandengan, sesekali anak itu memandangi ibunya.
Aku memperhatikan genggaman tangan si ibu, begitu erat.
Dia pasti takut anaknya hilang di tengah keramaian orang.
Rapuh tetapi sekaligus kuat, apa yang aku ingat tentang
naluri seorang ibu, dalam melindungi anaknya.
“Bertanyalah sesuka ibu, akan aku jawab, bu,” kataku.
“Keluargamu bagaimana, nak?”
“Aku sudah sempat menikah, bu. Istriku juga anak dari
panti asuhan yang sama-sama besar denganku.
Namanya Wanda,”
“Di mana si Wanda ini, nak? Apakah dia datang
menjenguk kamu?” pertanyaan dari ibu memancing reaksi
Lastri yang seketika memelototi aku.
Aku memberi kode agar dia tidak buka suara.
“Dia pergi meninggalkan aku, bu. Mana ada istri yang
menerima kenyataan kalau suaminya seorang pembunuh
yang divonis mati seperti aku. Ya, jodohnya sampai di sini,
bu.” Aku tersenyum memandang ibuku.
“Perempuan yang hanya tahu mencintai di saat senang itu
tidak pantas menjadi istrimu, nak! Ibu pernah menjadi istri
220