Page 55 - Pemikiran Agraria Bulaksumur Telaah Awal atas Pemikiran Sartono Kartodirdjo Masri Singaarimbun dan Mubyarto
P. 55

Pemikiran Agraria Bulaksumur
            mengungkap berbagai (semua) aspek dan dimensi tentang
            pemberontakan, misalnya. Perangkat ilmu sosial yang dominan
            di dalam disertasinya adalah ilmu politik, antropologi, dan sosio-
            logi, dan bukan semua bidang ilmu sosial. Dilihat dari sini, maka
            klaim multidimensional approach sejatinya tidak benar-benar menu-
            lis semua-mua aspek dan seluruh perangkat ilmu sosial, sebab
            hal demikian bukanlah cara kerja ilmu yang terkendalai oleh
            “konvensi disiplin”.
                Pendekatan multidimensional (pada gilirannya) bisa ditaf-
            sirkan sebagai “pretext” bagi Sartono Kartodirdjo untuk keluar
            dari jerat militerisasi dan politisasi sejarah Indonesia. Dalih ini
            menantang  mainstream dan “historiografi resmi” saat itu.
            Pengalaman ia memimpin penulisan buku Sejarah Nasional In-
            donesia 6 jilid telah membuktikan. Dalih itu cukup ampuh, aman,
            elegan, dan yang jelas: bercita-rasa “akademis”. Inilah mengapa
            ia digandrungi dan banyak diikuti, sehingga konon melahirkan
            suatu “mazhab”. Mengenai hal ini, Sartono sendiri pernah
            menunjukkan sikap tatkala ia diminta mengoreksi buku putih
            yang datang dari sekretaris negara dan hanya diberi waktu 3 hari.
            Sartono memberi koreksi dan komentar yang sifatnya metodo-
            logis. Ketika hasil koreksi diminta kembali dan dianggap tidak
            memenuhi selera pemesan, Sartono mengatakan bahwa tugas
            sejarawan bukan memberi pembenaran buku putih.
                Dari sini bisa dilihat pula bahwa Sartono Kartodirdjo meng-
            gunakan dalih “pendekatan ilmu-ilmu sosial” dalam metodolo-
            ginya guna meleluasakan geraknya di tengah-tengah pendisip-
            linan rezim kekuasaan yang demikian menggila. Keleluasaan
            gerak itu sangat diperlukan dalam proses pemantapan bangunan
            pengetahuan (state of the art) ilmu sejarah. Pendekatan ini
            merupakan “fase kedua” di dalam perkembangan historiografi

            36
   50   51   52   53   54   55   56   57   58   59   60