Page 61 - Pemikiran Agraria Bulaksumur Telaah Awal atas Pemikiran Sartono Kartodirdjo Masri Singaarimbun dan Mubyarto
P. 61
Pemikiran Agraria Bulaksumur
Pertanyaan utamanya adalah, apa persamaan dan perbedaan
antara kajian subaltern para ilmuwan (diaspora) India pada tahun
1980-an dengan apa yang telah dilakukan oleh Sartono Karto-
dirdjo pada tahun 1960-an/1970-an itu?
Keduanya sama-sama melakukan dekonstruksi dan dekolo-
nisasi sejarah untuk kemudian menghadirkan realitas orang biasa,
petani dan kaum miskin pedesaan, ke dalam narasi historis. Sub-
altern Studies Groups (SSG) berakar pada tradisi Marxian (revi-
sionis) yang diadopsi dari konsep hegemoni Gramsci. Mereka
menunjukkan bagaimana lapisan bawah itu, alih-alih melakukan
pemberontakan, sama sekali tidak berdaya bahkan “bersuarapun”
tidak mampu sebab ada struktur kolonial dan lapisan kasta yang
membentengi suara mereka. Tradisi Marxis yang non-ortodoks
itu ditunjukkan pula oleh SSG dengan perhatian mereka pa-
da”sistem tanda” dan pengkajian atas karya sastra yang kemudian
melahirkan pula kajian postkolonial.
Kajian postkolonial adalah sebuah perspektif yang bertujuan
melampaui kacamata kolonial dalam pemahaman kita sekarang.
Ini berdasarkan asumsi bahwa kita, saat ini, membawa banyak
cultural baggage dari sebuah masa yang dinamakan kolonialitas
dan oleh karenanya hal itu harus dikritisi. Arah kajian postkolonial
justru adalah menggugat “kekitaan-kita” (internal), saat ini, dan
bukan seperti historiografi Indonesiasentris yang menghadap-
kannya pada “kemerekaan” (ektesternal).
Sementara Sartono dalam berbagai karyanya berangkat dari
pada Muker Sejarah VIII di IKIP Malang, 1984. Harlem Siahaan, “Pak Sartono
dan Kita”, dalam M. Nursam, dkk. (eds), Sejarah yang Memihak, Mengenang
Sartono Kartodirdjo, (Yogyakarta: Ombak dan Rumah Budaya Tembi, 2008),
hlm. 155
42