Page 85 - Pemikiran Agraria Bulaksumur Telaah Awal atas Pemikiran Sartono Kartodirdjo Masri Singaarimbun dan Mubyarto
P. 85

Pemikiran Agraria Bulaksumur
            perubahan yang terjadi di alam dikaji melalui disiplin biologi,
            zoologi, dan geografi/geologi. Dengan meminjam perspektif di
            atas, menurut saya hal-hal semacam di atas juga menjadi varibel
            penjelas terhadap dinamika sejarah manusia, dari sejarah antro-
            posentris menuju sejarah eco-antroposentris.


            3. Sejarah tradisional menawarkan suatu sudut pandang
               dari atas (history from above)
                Dalam kajian sejarah tradisonal, jikapun narasi “masyarakat
            biasa” disajikan, tak lebih mereka adalah pantulan dari aktor
            (hero) dalam gerak sejarah. “History from below” yang ditawar-
            kan oleh sejarah baru menghadirkan “ordinary people” dalam
            pengalaman sosial mereka sendiri. Yang menjadi persoalan ada-
            lah, apakah orang-orang biasa itu dapat berbicara sendiri, menu-
            liskan sejarahnya, ataukah ia butuh “keagenan intelektual”?
            Dipesh Chakrabarty dalam tulisannya berjudul “Can Subaltern
            Speak” menunjukkan pentingnya keagenan. Pendapat ini kemu-
            dian dikritik oleh Benita Parry yang menunjukkan bahwa
            keagenan itu tidak selamanya benar, sebab mereka (perempuan-
            perempuan itu) “menuliskan” sejarah dirinya melalui keberada-
            annya sebagai penyembuh, asketik, penyanyi lagu-lagu sakral,
            perajin, dan seniman. 56
                Hal lain adalah, keliru menyamakan ordinary people dan
            kelompok marjinal dengan minoritas. Bisa jadi yang disebut
            sebagai minoritas secara “budayawi”, tidak menjadi minor secara
            ekonomi dan politik. Sebagai contoh adalah orang Tionghoa di
            perkotaan saat ini kita sebut sebagai minoritas (dalam arti



                56  Ania Loomba, Kolonialisme, Pascakolonialisme, (Yogyakarta: Bentang,
            2003), hlm. 302-303

            66
   80   81   82   83   84   85   86   87   88   89   90