Page 289 - TOKOH PEMIKIR KARAKTER BANGSA
P. 289
itu sebagai negara boneka bentukan Inggris. Pendapat Widjojo
akhirnya tidak didengar oleh Pemerintahan Soekarno.
Pada 1966, Jenderal Soeharto mengambil alih kekuasaan di
Indonesia dari Presiden Soekarno melalui Supersemar. Meskipun
belum menjadi presiden hingga dua tahun berikutnya, Soeharto
mulai membangun dasar-dasar pemerintahan yang nantinya akan
disebut sebagai rezim Orde Baru. Pada akhir Agustus 1966, Soeharto
mengadakan seminar di SESKOAD untuk mendiskusikan masalah
ekonomi dan politik serta bagaimana Orde Baru akan mengatasi
permasalahan itu. Ekonom-ekonom FEUI, yang diketuai oleh Widjojo
Nitisastro, mengikuti seminar itu.
Jika Sumitro Djojohadikuso adalah salah satu arsitek ekonomi
Indonesia awal 1950-an, maka Widjojo, sang murid Sumitro, adalah
arsitek (utama) ekonomi Orde Baru. Pada 1966, sebagaimana telah
disebutkan di atas, Widjojo diangkat menjadi Ketua Tim Penasehat
Ekonomi Soeharto, yang beranggotakan Ali Wardhana, Mohammad
Sadli, Subroto, dan Emil Salim. Pada 1968, ia menjadi Ketua Badan
Perancang Pembangunan Nasional (Bapennas). Sejak 1971—1973,
diangkat menjadi Menteri Negara Perencanaan Pembangunan
Nasional. Kemudian dari 1973—1983, menjabat Menteri Koordinator
Ekonomi dan Keuangan merangkap Ketua Bappenas. Dalam
perjalanan karier di pemerintahan tampak bahwa Widjojo adalah
konseptor sekaligus eksekutor; memproduksi gagasan sekaligus
membumikannya. Maka tidak terlalu keliru jika kepadanya
12
disematkan predikat sebagai sosok arsitek ekonomi Orde Baru —
bahkan sampai masa awal Reformasi Widjojo masih diminta untuk
menyelesaikan persoalan-persoalan ekonomi, khususnya pada masa
pemerintahan Abdurrahman Wahid pada tahun 2000.
Pemikiran ekonomi yang dianut Widjojo mengambil inspirasi
dari pemikiran Keynes—ekonom Inggris—yang menyarankan
kombinasi antara mekanisme pasar dan intervensi pemerintah.
Konsep ekonomi Widjojo—yang kerap disebut pers sebagai
Widjojonomics—menekankan prinsip kehati-hatian yang "sangat"
(prudent). Dalam kaitan dengan pembangunan, pemikiran Widjojo
277

