Page 92 - Kumpulan CerPen-by Suci Harjono
P. 92
mengantikan rasa sakit dan penderitaan yang ibu rasakan. Meskipun
aku masih kecil tetapi aku tahu ibu sangat kesakitan. Dan yang lebih
menyedihkan lagi, karena harus sekolah, aku tidak bisa menemani ibu.
Hanya nenek, yang setia menemani ibu.
Masih kuingat, 9 tahun yang lalu, tepat saat hari Jum’at, sesudah
sholat jum’at, aku mendaparkan khabar kalau ibu sudah dipanggilNya.
Aku menangis meraung-raung merasakan sebagian jiwaku hilang.
Orang terdekatku sudah meninggalkan kami semua untuk selama-
lamanya. Dan aku tidak pernah menemani ibu disaat-saat terakhirnya.
Bahkan senyum, dan tutur kata lembut ibu untuk yang terakhir kalinya
tak mampu aku saksikan. Tuhan, kenapa kau panggil ibuku secepat itu?
Kenapa tak Kau berikan kesembuhan? Sesalku dalam balutan duka.
**
“Gibran..CEPAT TURUN! Dasar anak malas. Tak tahu diri!”
Aku menutup telinggaku rapat-rapat dengan bantal. Segaja aku
tak mau mendengarkan panggilan kasar bu Nar, istri ayahku. Hampir
setiap hari istri ayahku selalu mengomel dan marah-marah tanpa ada
penyebabnya. Bagaimana mungkin aku mau menurut apa katanya kalau
dia sendiri juga tidak bisa kujadikan panutan?
Lima tahun sejak kematian ibu, ayahku menikah lagi dengan Bu
Nar. Kami semua memanggilnya begitu tanpa tahu nama lengkapnya.
Dan kami memang tidak mau tahu. Pernikahan itu juga tanpa minta
persetujuan dari kami. Masih kuingat, pagi itu kami berempat diajak
ayah bepergian. Tanpa banyak bertanya, kami ikut. Jarang-jarang
ayah mengajak kami pergi. Terlalu banyak urusannya. Kami hanya bisa
saling pandang, binggung, tak percaya dan tak bisa berbuat apa-apa
saat diajak masuk ke Kantor Urusan Agama di Kabupaten Demak dan
disana sudah menunggu seorang perempuan yang selama ini kami kenal
sebagai pedagang pakaian keliling yang biasa berdagang di desa kami.
Saat ayah dan Bu Nar berikrar didepan penghulu, air mataku tak bisa
92 Suatu Malam di Sebuah Jalan_ Suci Harjono_sucihan03@gmail.com