Page 93 - Kumpulan CerPen-by Suci Harjono
P. 93
kuhentikan menganak sungai. Hatiku teriris. Aku merasa dikhianati dan
sangat terluka.
Ayah terlalu terburu-buru menjatuhkan pilihan. Bu Nar, tidak
seperti seorang istri dan perempuan seperti yang lain. Jarang sekali
dia mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Justru ayah yang selama
hidupnya tidak pernah mencuci piring dan gelas, mengepel, sekarang
mengalih alih mencuci piring dan membersihkan rumah. Dimeja makan
tidak pernah ada lagi makanan pengundang selera. Aku dan kakakku
setiap hari membeli makanan sendiri. Sementara Bu Nar membeli
makanan untuk ayah dan dirinya sendiri. Sejak saat itu kami menjadi
malas untuk membantu pekerjaan rumah. Bagaimana mungkin kami
mau mengerjakan banyak hal sementara Bu Nar tidak sekalipun
mengerjakan hal itu? Selain pemalas, Bu Nar juga cerewet dan suka
mengatur. Rumah kami tidak pernah merasakan ketentraman semenjak
Bu Nar hadir. Bahkan kakakku yang pertama memilih tinggal di kost
karena tidak tahan terus berselisih.
“Gibran! Cepat! Dasar TOLOL!” maki Bu Nar sambil mengedor
pintu kamarku.
Aku bangkit dengan memendam rasa marah.
“Bangun. Beres-beres!Kuliah!” perintah Bu Nar. Tangannya
berkacak pinggang dengan muka berlipat-lipat.
“Nggak usah ngurus aku. Urus saja urusan Bu Nar sendiri.” Ujarku
acuh tak acuh. Meskipun sudah menjadi istri ayahku tetapi kami tidak
pernah memanggil dengan nama ibu.
PRANG!
Sebuah gelas melayang di lantai kamarku. Sisa kopi tadi malam
memenuhi lantai.
“Cepat! Aku nggak peduli kamu kuliah atau tidak. Tapi kamu
harus beres-beres rumah!” perintah Bu Nar lagi terus berlalu.
Aku memandang istri ayahku dengan kebencian yang memuncak.
Tabiatnya sangatlah jelek dan kasar, tak patut untuk seorang ibu. Duh,
Suatu Malam di Sebuah Jalan_ Suci Harjono_sucihan03@gmail.com 93